Shalat Qashar yaitu meringkas shalat yang empat rakaat menjadi dua rakaat. Seperti shalat Dhuhur, Ashar dan Isya’. Sedangkan shalat Magrib dan shalat Shubuh tidak bisa diqashar.
Shalat Qashar merupakan keringanan yang diberikan Allah subhanahu wata’ala untuk musafir, sebagaimana firman-Nya,
”Dan apabila kamu bepergian di muka bumi, maka tidaklah mengapa kamu mengqashar shalatmu, (QS.Annisa; 101)
Dan itu merupakan shadaqah (pemberian) dari Allah subhanahu wata’ala yang disuruh oleh Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasalam untuk menerimanya, (HR.Muslim).
Mengqashar shalat hanya boleh dilakukan oleh orang yang sedang bepergian (musafir). Adapun batas jarak orang dikatakan musafir terdapat perbedaan di kalangan para ulama. Bahkan Ibnu Munzir mengatakan ada dua puluh pendapat. Yang paling kuat adalah tidak ada batasan jarak, selama mereka dinamakan musafir menurut kebiasaan maka ia boleh menjama’ dan mengqashar shalatnya. Karena kalau ada ketentuan jarak yang pasti, Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasalam mesti menjelaskannya kepada kita, (AlMuhalla, 21/5).
Seorang musafir baru boleh memulai melaksanakan shalat jama’ dan Qashar apabila ia telah keluar dari kampung atau kota tempat tinggalnya. Ibnu Munzir mengatakan,
“Saya tidak mengetahui Nabi menjama’ dan mengqashar shalatnya dalam musafir kecuali setelah keluar dari Madinah”
Dan Anas menambahkan,
“Saya shalat Dhuhur bersama Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasalam di Madinah empat rakaat dan di Dzulhulaifah (sekarang Bir Ali berada di luar Madinah) dua rakaat” (HR.Bukhari Muslim)
Ketika seorang musafir yang mengqashar shalatnya, ia tidak mesti harus menjama’ shalatnya, begitu juga sebaliknya. Karena boleh saja ia mengqashar shalatnya dengan tidak menjama’nya. Seperti melakukan shalat Dzuhur 2 rakaat diwaktunya dan shalat Ashar 2 rakaat di waktu Ashar. Dan seperti ini lebih afdhal bagi mereka yang musafir namun bukan dalam perjalanan. Seperti seorang yang berasal dari Surabaya bepergian ke Sulawesi, selama ia di sana ia boleh mengqashar shalatnya dengan tidak menjama’nya sebagaimana yang dilakukan oleh Nabi ketika berada di Mina.
Menurut Jumhur (mayoritas) ulama’, seorang musafir yang sudah menentukan lama musafirnya lebih dari empat hari maka ia tidak boleh mengqashar shalatnya. Tetapi kalau waktunya empat hari atau kurang maka ia boleh mengqasharnya. Seperti yang dilakukan oleh Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasalam ketika haji Wada’. Beliau tinggal selama 4 hari di Mekkah dengan menjama’ dan mengqashar shalatnya. Adapun seseorang yang belum menentukan berapa hari dia musafir, atau belum jelas kapan dia bisa kembali ke rumahnya maka dibolehkan menjama’ dan mengqashar shalatnya. Inilah yang dipegang oleh mayoritas ulama berdasarkan apa yang dilakukan oleh Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasalam. Ketika penaklukkan kota Mekkah beliau tinggal sampai sembilan belas hari atau ketika perang tabuk sampai dua puluh hari beliau mengqashar shalatnya (HR.Abu Daud). Ini disebabkan karena ketidaktahuan kapan musafirnya berakhir. Sehingga seorang yang mengalami ketidakpastian jumlah hari dia musafir boleh saja menjama’ dan mengqashar shalatnya (Fiqhussunah I/241).
Seorang musafir boleh berjamaah dengan Imam yang muqim (tidak musafir). Begitu juga ia boleh menjadi imam bagi makmum yang muqim. Kalau dia menjadi makmum pada imam yang muqim, maka ia harus mengikuti imam dengan melakukan shalat Itmam (tidak mengqashar). Tetapi kalau dia menjadi Imam maka boleh saja mengqashar shalatnya, dan makmum menyempurnakan rakaat shalatnya setelah imammya salam.
Dan sunah bagi musafir untuk tidak melakukan shalat sunah rawatib (shalat sunah sesudah dan sebelum shalat wajib), Kecuali shalat witir dan Tahajjud, karena Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasalam selalu melakukannya baik dalam keadaan musafir atau muqim. Dan begitu juga shalat- shalat sunah yang ada penyebabnya seperti shalat Tahiyatul Masjid, shalat gerhana, dan shalat janazah.
Shalat Qashar merupakan keringanan yang diberikan Allah subhanahu wata’ala untuk musafir, sebagaimana firman-Nya,
”Dan apabila kamu bepergian di muka bumi, maka tidaklah mengapa kamu mengqashar shalatmu, (QS.Annisa; 101)
Dan itu merupakan shadaqah (pemberian) dari Allah subhanahu wata’ala yang disuruh oleh Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasalam untuk menerimanya, (HR.Muslim).
Mengqashar shalat hanya boleh dilakukan oleh orang yang sedang bepergian (musafir). Adapun batas jarak orang dikatakan musafir terdapat perbedaan di kalangan para ulama. Bahkan Ibnu Munzir mengatakan ada dua puluh pendapat. Yang paling kuat adalah tidak ada batasan jarak, selama mereka dinamakan musafir menurut kebiasaan maka ia boleh menjama’ dan mengqashar shalatnya. Karena kalau ada ketentuan jarak yang pasti, Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasalam mesti menjelaskannya kepada kita, (AlMuhalla, 21/5).
Seorang musafir baru boleh memulai melaksanakan shalat jama’ dan Qashar apabila ia telah keluar dari kampung atau kota tempat tinggalnya. Ibnu Munzir mengatakan,
“Saya tidak mengetahui Nabi menjama’ dan mengqashar shalatnya dalam musafir kecuali setelah keluar dari Madinah”
Dan Anas menambahkan,
“Saya shalat Dhuhur bersama Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasalam di Madinah empat rakaat dan di Dzulhulaifah (sekarang Bir Ali berada di luar Madinah) dua rakaat” (HR.Bukhari Muslim)
Ketika seorang musafir yang mengqashar shalatnya, ia tidak mesti harus menjama’ shalatnya, begitu juga sebaliknya. Karena boleh saja ia mengqashar shalatnya dengan tidak menjama’nya. Seperti melakukan shalat Dzuhur 2 rakaat diwaktunya dan shalat Ashar 2 rakaat di waktu Ashar. Dan seperti ini lebih afdhal bagi mereka yang musafir namun bukan dalam perjalanan. Seperti seorang yang berasal dari Surabaya bepergian ke Sulawesi, selama ia di sana ia boleh mengqashar shalatnya dengan tidak menjama’nya sebagaimana yang dilakukan oleh Nabi ketika berada di Mina.
Menurut Jumhur (mayoritas) ulama’, seorang musafir yang sudah menentukan lama musafirnya lebih dari empat hari maka ia tidak boleh mengqashar shalatnya. Tetapi kalau waktunya empat hari atau kurang maka ia boleh mengqasharnya. Seperti yang dilakukan oleh Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasalam ketika haji Wada’. Beliau tinggal selama 4 hari di Mekkah dengan menjama’ dan mengqashar shalatnya. Adapun seseorang yang belum menentukan berapa hari dia musafir, atau belum jelas kapan dia bisa kembali ke rumahnya maka dibolehkan menjama’ dan mengqashar shalatnya. Inilah yang dipegang oleh mayoritas ulama berdasarkan apa yang dilakukan oleh Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasalam. Ketika penaklukkan kota Mekkah beliau tinggal sampai sembilan belas hari atau ketika perang tabuk sampai dua puluh hari beliau mengqashar shalatnya (HR.Abu Daud). Ini disebabkan karena ketidaktahuan kapan musafirnya berakhir. Sehingga seorang yang mengalami ketidakpastian jumlah hari dia musafir boleh saja menjama’ dan mengqashar shalatnya (Fiqhussunah I/241).
Seorang musafir boleh berjamaah dengan Imam yang muqim (tidak musafir). Begitu juga ia boleh menjadi imam bagi makmum yang muqim. Kalau dia menjadi makmum pada imam yang muqim, maka ia harus mengikuti imam dengan melakukan shalat Itmam (tidak mengqashar). Tetapi kalau dia menjadi Imam maka boleh saja mengqashar shalatnya, dan makmum menyempurnakan rakaat shalatnya setelah imammya salam.
Dan sunah bagi musafir untuk tidak melakukan shalat sunah rawatib (shalat sunah sesudah dan sebelum shalat wajib), Kecuali shalat witir dan Tahajjud, karena Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasalam selalu melakukannya baik dalam keadaan musafir atau muqim. Dan begitu juga shalat- shalat sunah yang ada penyebabnya seperti shalat Tahiyatul Masjid, shalat gerhana, dan shalat janazah.
Artikel Terkait
Tidak ada komentar:
Posting Komentar