Suatu hari Nabi Musa mengalami sakit gigi yang sangat menyiksanya, lantas beliau pun mengadukan perihal ini kepada Allah sang Maha Penyembuh. Demi mendengar keluh nabi yang disayangiNya itu, Tuhan pun memberitahunya obat penawar sakit giginya tersebut. Allah menyuruh Musa untuk mencari sebuah tanaman (berdasar sebuah Riwayat, tanaman itu sejenis rerumputan) yang bisa dijadikan penawar dari sakit yang sedang dideritanya itu. Musa pun tanpa menunggu lama lagi segera bergegas mencari tanaman
yang dimaksud oleh Tuhan tersebut. Dan selang beberapa waktu kemudian tanaman yang dimaksud berhasil ditemukan dan seketika itupun Musa segera mengkonsumsinya sebagai obat sesuai dengan apa yang telah diresepkan oleh Tuhan. Dan akhir kisah, sakit gigi beliau pun sembuh dan Musa bersyukur dengan kesembuhannya itu. Beliau lantas berujar,”Alhamdulillah berkat tanaman ini sakit gigi ku akhirnya sembuh.”
Kemudian di lain waktu berselang lumayan lama dari kejadian itu, Musa menderita sakit gigi lagi. Dan seketika itu beliau teringat akan tanaman yang dahulu dianggapnya dapat menyembuhkan penyakit gigi yang pernah dialaminya. Tanpa membuang-buang waktu, Musa beranjak dari tempatnya dan mencari tanaman itu. Setelah tanaman itu berhasil didapat, Musa pun menyeduhnya dan menggunakannya sebagai obat seperti yang dahulu pernah diresepkan Tuhan. Dan selang beberapa waktu setelah meminumnya, tak nampak ada efek berarti dari tanaman yang “dianggap” oleh Musa dapat menyembuhkan penyakitnya itu. Dan setelah dirasa cukup lama menunggu namun tak ada dampak yang berarti dari tanaman yang terlanjur dipercaya Musa sebagai obat yang sangat manjur bagi sakitnya itu, Musa pun mengadu kepada Allah perihal semua itu. Allah yang Maha Tahu pun kemudian perlahan menjelaskan perihal semua kejadian itu kepada Sang Nabi yang tiada seorang nabi pun pernah diajak bercakap-cakap dengan Nya selainnya.
“Hai Musa! Aku telah mengetahui semua yang telah engkau alami.”
“Engkaulah memang satu-satunya Yang Maha Mengetahui, wahai Tuhanku dan Tuhan sekalian alam,” jawab Musa.
“Hai Musa, ketahuilah bahwasannya ada sebuah pelajaran berharga dari semua kejadian yang telah engkau alami, wahai Nabiku.”
“Hikmah apakah yang Engkau maksudkan, ya Robb?”
“Tentang ikhtiarmu yang keliru.”
“Maksud Engkau?”
“Sadarilah wahai Musa, dahulu saat pertama kali engkau menderita sakit dan mengadu kepadaku bukankah Aku telah menunjukimu tentang sebuah tanaman yang dapat menjadi penawar bagi sakitmu?”
“Benar, wahai Tuhanku!”
“Dan saat Engkau menggunakannya sebagai obat dan ternyata mujarab, engkau kemudian menganggapnya sebagai sang penyembuh sakitmu.”
Musa masih Khusyu’ mendengar “Ceramah” Tuhannya.
“Kemudian,” lanjut Tuhan, “Setelah selang beberapa waktu saat engkau mengalami sakit yang sama, seketika itu pula engkau segera mencari tanaman yang terlanjur engkau anggap sebagai sang penyembuh sakitmu itu, bukan? Dan setelah engkau menggunakannya sebagai obat ternyata tidak manjur seperti dahulu, bukan? Nah disinilah letak kekhilafanmu, wahai Musa. Engkau lupa bahwasnnya yang bisa menyembuhkan segala penyakit adalah Aku. Obat hanyalah sebagai perantara saja. Terserah mau ku letakkan dimana bentuk kesembuhan dari sebuah penyakit. Semua itu kulakukan untuk melihat sejauh mana manusia berikhtiar menjemput kesembuhannya. Ingat, berbagai bentuk obat hanyalah sebuah perantara karena hak untuk menyembuhkan hanyalah di tanganKu. Mengertikah engkau Musa?”
Musa yang sedari tadi termangu mendengar “Khotbah” Tuhannya mendadak terkesiap dan sadar. Ia pun kemudian beristiqfar atas kekhilafannya dan bertasbih memuji ke–MahaSuci-an Tuhannya.
Dari kisah itu, nampaknya kita juga mulai tersadar bahwasannya kita selama ini memang sering seperti apa yang telah dilakonkan Musa dalam kisah tersebut. Bukankah terlalu sering kita menganggap bahwannya obat dari dokter lah yang dapat menyembuhkan penyakit yang sedang kita derita. Kita sering lupa bahwa di balik kesembuhan yang telah kita rasakan setelah sakit kita, ada kehendak Tuhan di baliknya. Obat, dokter, dan sarana penyembuhan lainnya adalah sebuah media/perantara saja, tak lebih. Dan terserah Allah dimana mau meletakkan kesembuhan seseorang, entah itu di obat A, Dokter C, Tabib B, Bidan D dll, semua terserah Allah. Karena sesungguhnya hikmah di balik itu semua adalah, tentang mengukur sejauh mana tingkat ikhtiar dan ke-tawakall-an manusia dalam menjemput kesembuhannya.
Dan dikatakan (kepadanya): “Siapakah yang dapat menyembuhkan?”,(Qs. Al Qiyaamah [75] : 27)
Maka jawabannya adalah, “Dan apabila aku sakit, Dialah yang menyembuhkan Aku”, (Qs. As Syu’araa’ [26] : 80)
Sebagai manusia yang berakal sehat, janganlah kita mengulang kisah Bani Isra’il dahulu (dan masih dilestarikan oleh sekelompok umat lain hingga kini) yang menganggap manusia yang bisa menyembuhkan orang sakit, menghidupkan orang mati dan berbicara saat masih oroknya, sebagai Tuhan. Padahal semua itu adalah mukjizat semata dan tidak akan pernah bisa terjadi jika Allah tak mengizinkannya. Lantas mengapa Tuhan melakukannya, hingga akhirnya kini banyak manusia yang tersesat dengan menuhankan manusia (Nabi) karena semua mukjizat itu? Salah satu jawabannya adalah karena Tuhan hendak memperlihatkan tingkat kedewasaan masing-masing manusia, dianggap dewasa dan berakal sehat jika mereka dapat mengerti maksud Tuhan dalam kisah Bani Isra’il dalam Al Qur’an (salah satunya dalam Surah Al Ma’idah [05] ayat ke 110*). Manusia dewasa dan berpikiran sehat adalah mereka yang dapat membedadkan Tuhan dan manusia. Sedangkan mereka yang masih belum dewasa dan pikirannya masih belum terbuka adalah mereka yang tidak dapat membedakan antara Tuhan, manusia/Nabi, sehingga Manusia atau Nabi pun dapat dialih-posisikan sebagai Tuhan yang wajib disembah. Semoga kita termasuk dalam golongan mereka yang dewasa dan masih dapat berpikir sehat, Tuhan dan manusia jelas berbeda, bukan?
Note :
Surah Al Ma’idah [05] ayat ke 110, “(ingatlah), ketika Allah mengatakan: “Hai Isa putra Maryam, ingatlah nikmat-Ku kepadamu dan kepada ibumu di waktu aku menguatkan kamu dengan Ruhul qudus. kamu dapat berbicara dengan manusia di waktu masih dalam buaian dan sesudah dewasa; dan (ingatlah) di waktu aku mengajar kamu menulis, hikmah, Taurat dan Injil, dan (ingatlah pula) diwaktu kamu membentuk dari tanah (suatu bentuk) yang berupa burung dengan ijin-Ku, kemudian kamu meniup kepadanya, lalu bentuk itu menjadi burung (yang sebenarnya) dengan seizin-Ku. dan (ingatlah) di waktu kamu menyembuhkan orang yang buta sejak dalam kandungan ibu dan orang yang berpenyakit sopak dengan seizin-Ku, dan (ingatlah) di waktu kamu mengeluarkan orang mati dari kubur (menjadi hidup) dengan seizin-Ku, dan (ingatlah) di waktu aku menghalangi Bani Israil (dari keinginan mereka membunuh kamu) di kala kamu mengemukakan kepada mereka keterangan-keterangan yang nyata, lalu orang-orang kafir diantara mereka berkata: “Ini tidak lain melainkan sihir yang nyata”. (Qs. Al Ma’idah [05] ayat ke 110)
yang dimaksud oleh Tuhan tersebut. Dan selang beberapa waktu kemudian tanaman yang dimaksud berhasil ditemukan dan seketika itupun Musa segera mengkonsumsinya sebagai obat sesuai dengan apa yang telah diresepkan oleh Tuhan. Dan akhir kisah, sakit gigi beliau pun sembuh dan Musa bersyukur dengan kesembuhannya itu. Beliau lantas berujar,”Alhamdulillah berkat tanaman ini sakit gigi ku akhirnya sembuh.”
Kemudian di lain waktu berselang lumayan lama dari kejadian itu, Musa menderita sakit gigi lagi. Dan seketika itu beliau teringat akan tanaman yang dahulu dianggapnya dapat menyembuhkan penyakit gigi yang pernah dialaminya. Tanpa membuang-buang waktu, Musa beranjak dari tempatnya dan mencari tanaman itu. Setelah tanaman itu berhasil didapat, Musa pun menyeduhnya dan menggunakannya sebagai obat seperti yang dahulu pernah diresepkan Tuhan. Dan selang beberapa waktu setelah meminumnya, tak nampak ada efek berarti dari tanaman yang “dianggap” oleh Musa dapat menyembuhkan penyakitnya itu. Dan setelah dirasa cukup lama menunggu namun tak ada dampak yang berarti dari tanaman yang terlanjur dipercaya Musa sebagai obat yang sangat manjur bagi sakitnya itu, Musa pun mengadu kepada Allah perihal semua itu. Allah yang Maha Tahu pun kemudian perlahan menjelaskan perihal semua kejadian itu kepada Sang Nabi yang tiada seorang nabi pun pernah diajak bercakap-cakap dengan Nya selainnya.
“Hai Musa! Aku telah mengetahui semua yang telah engkau alami.”
“Engkaulah memang satu-satunya Yang Maha Mengetahui, wahai Tuhanku dan Tuhan sekalian alam,” jawab Musa.
“Hai Musa, ketahuilah bahwasannya ada sebuah pelajaran berharga dari semua kejadian yang telah engkau alami, wahai Nabiku.”
“Hikmah apakah yang Engkau maksudkan, ya Robb?”
“Tentang ikhtiarmu yang keliru.”
“Maksud Engkau?”
“Sadarilah wahai Musa, dahulu saat pertama kali engkau menderita sakit dan mengadu kepadaku bukankah Aku telah menunjukimu tentang sebuah tanaman yang dapat menjadi penawar bagi sakitmu?”
“Benar, wahai Tuhanku!”
“Dan saat Engkau menggunakannya sebagai obat dan ternyata mujarab, engkau kemudian menganggapnya sebagai sang penyembuh sakitmu.”
Musa masih Khusyu’ mendengar “Ceramah” Tuhannya.
“Kemudian,” lanjut Tuhan, “Setelah selang beberapa waktu saat engkau mengalami sakit yang sama, seketika itu pula engkau segera mencari tanaman yang terlanjur engkau anggap sebagai sang penyembuh sakitmu itu, bukan? Dan setelah engkau menggunakannya sebagai obat ternyata tidak manjur seperti dahulu, bukan? Nah disinilah letak kekhilafanmu, wahai Musa. Engkau lupa bahwasnnya yang bisa menyembuhkan segala penyakit adalah Aku. Obat hanyalah sebagai perantara saja. Terserah mau ku letakkan dimana bentuk kesembuhan dari sebuah penyakit. Semua itu kulakukan untuk melihat sejauh mana manusia berikhtiar menjemput kesembuhannya. Ingat, berbagai bentuk obat hanyalah sebuah perantara karena hak untuk menyembuhkan hanyalah di tanganKu. Mengertikah engkau Musa?”
Musa yang sedari tadi termangu mendengar “Khotbah” Tuhannya mendadak terkesiap dan sadar. Ia pun kemudian beristiqfar atas kekhilafannya dan bertasbih memuji ke–MahaSuci-an Tuhannya.
Dari kisah itu, nampaknya kita juga mulai tersadar bahwasannya kita selama ini memang sering seperti apa yang telah dilakonkan Musa dalam kisah tersebut. Bukankah terlalu sering kita menganggap bahwannya obat dari dokter lah yang dapat menyembuhkan penyakit yang sedang kita derita. Kita sering lupa bahwa di balik kesembuhan yang telah kita rasakan setelah sakit kita, ada kehendak Tuhan di baliknya. Obat, dokter, dan sarana penyembuhan lainnya adalah sebuah media/perantara saja, tak lebih. Dan terserah Allah dimana mau meletakkan kesembuhan seseorang, entah itu di obat A, Dokter C, Tabib B, Bidan D dll, semua terserah Allah. Karena sesungguhnya hikmah di balik itu semua adalah, tentang mengukur sejauh mana tingkat ikhtiar dan ke-tawakall-an manusia dalam menjemput kesembuhannya.
Dan dikatakan (kepadanya): “Siapakah yang dapat menyembuhkan?”,(Qs. Al Qiyaamah [75] : 27)
Maka jawabannya adalah, “Dan apabila aku sakit, Dialah yang menyembuhkan Aku”, (Qs. As Syu’araa’ [26] : 80)
Sebagai manusia yang berakal sehat, janganlah kita mengulang kisah Bani Isra’il dahulu (dan masih dilestarikan oleh sekelompok umat lain hingga kini) yang menganggap manusia yang bisa menyembuhkan orang sakit, menghidupkan orang mati dan berbicara saat masih oroknya, sebagai Tuhan. Padahal semua itu adalah mukjizat semata dan tidak akan pernah bisa terjadi jika Allah tak mengizinkannya. Lantas mengapa Tuhan melakukannya, hingga akhirnya kini banyak manusia yang tersesat dengan menuhankan manusia (Nabi) karena semua mukjizat itu? Salah satu jawabannya adalah karena Tuhan hendak memperlihatkan tingkat kedewasaan masing-masing manusia, dianggap dewasa dan berakal sehat jika mereka dapat mengerti maksud Tuhan dalam kisah Bani Isra’il dalam Al Qur’an (salah satunya dalam Surah Al Ma’idah [05] ayat ke 110*). Manusia dewasa dan berpikiran sehat adalah mereka yang dapat membedadkan Tuhan dan manusia. Sedangkan mereka yang masih belum dewasa dan pikirannya masih belum terbuka adalah mereka yang tidak dapat membedakan antara Tuhan, manusia/Nabi, sehingga Manusia atau Nabi pun dapat dialih-posisikan sebagai Tuhan yang wajib disembah. Semoga kita termasuk dalam golongan mereka yang dewasa dan masih dapat berpikir sehat, Tuhan dan manusia jelas berbeda, bukan?
Note :
Surah Al Ma’idah [05] ayat ke 110, “(ingatlah), ketika Allah mengatakan: “Hai Isa putra Maryam, ingatlah nikmat-Ku kepadamu dan kepada ibumu di waktu aku menguatkan kamu dengan Ruhul qudus. kamu dapat berbicara dengan manusia di waktu masih dalam buaian dan sesudah dewasa; dan (ingatlah) di waktu aku mengajar kamu menulis, hikmah, Taurat dan Injil, dan (ingatlah pula) diwaktu kamu membentuk dari tanah (suatu bentuk) yang berupa burung dengan ijin-Ku, kemudian kamu meniup kepadanya, lalu bentuk itu menjadi burung (yang sebenarnya) dengan seizin-Ku. dan (ingatlah) di waktu kamu menyembuhkan orang yang buta sejak dalam kandungan ibu dan orang yang berpenyakit sopak dengan seizin-Ku, dan (ingatlah) di waktu kamu mengeluarkan orang mati dari kubur (menjadi hidup) dengan seizin-Ku, dan (ingatlah) di waktu aku menghalangi Bani Israil (dari keinginan mereka membunuh kamu) di kala kamu mengemukakan kepada mereka keterangan-keterangan yang nyata, lalu orang-orang kafir diantara mereka berkata: “Ini tidak lain melainkan sihir yang nyata”. (Qs. Al Ma’idah [05] ayat ke 110)
Artikel Terkait
Tidak ada komentar:
Posting Komentar