“Nggak sholat kek. Gak sempat. Waktunya habis di dalam mobil.” Jawab saya agak malu.
“Mmm… malas kek. Ngantuk. Sekali-kali lah.” Saya berharap kakek bisa mengerti. Tapi tetap saja saya tangkap kesan heran di wajah kakek. Mungkin karena beliau tahu saya rajin beribadah, tapi untuk urusan perjalanan, saya dengan ringan meninggalkannya.
Setelah diam sesaat, kakek berkata. “Nanti sore kalau gak capek, kita bisa jalan-jalan ke kebun.”
“Asyiik!!!” Sambut saya sumringah.
Senja tiba. Saya sudah siap melihat-lihat kebun kakek yang tidak jauh dari rumahnya. Entah kenapa, kakek meminjamkan sebuah celana berwarna putih untuk saya. Maklum karena di kebun tentu saja kami akan berkotor-kotor, saya tidak ragu mengambilnya. Daripada celana yang saya bawa dari Jakarta yang saya pakai. Sayang, persediaan terbatas. Tapi aneh, pada akhirnya kakek berkata, “Kalau celana itu sampai kotor, kamu cuci sendiri ya!!” Saya tidak mengerti maksud kakek, tapi saya ikuti saja. Dan saya lihat kakek sendiri menggunakan celana hitam.
Perjalanan di mulai. Setelah 15 menit kami sampai di kebun kakek. Di kebun itu kami berkeliling menyaksikan bermacam tanaman yang ditaman oleh kakek, mulai dari pisang, jagung, hingga cabai.
Setelah puas, kami istirahat sejenak. Tanpa sungkan, kakek duduk di tanah dan menyuruh saya duduk di sampingnya. “Duduk lah.”
“Gak ah, kek. Takut kotor.”
“Kenapa takut kotor? Kakek santai saja kok duduk di tanah.”
“Ya jelas. Kakek kan memakai celana hitam. Sedangkan celana saya putih.”
“Memang kenapa kalau celana putih?”
“Kalau celana putih, kan susah dicucinya kalau kena noda. Kalau tidak bersih, nodanya akan terlihat jelas. Sedangkan celana hitam, tidak terlalu kentara kalau kotor.”
Kakek terangguk-angguk. “Apa kamu bisa mengambil pelajaran dari hal tersebut?”
“Hah?? Pelajaran apa kek???” Aku agak bengong.
“Kamu mengerti, bahwa perumpamaan orang munafik atau fasik, adalah seperti kakek ini yang memakai celana hitam…”
”Lho, maksud kakek?” Aku memotong.
“Dengar dulu!! Orang yang memakai celana hitam, tidak akan merasa was-was kalau celananya kotor. Dia tidak akan malu berjalan di tengah orang banyak dengan celana yang terkena noda tanah di sana sini. Sedangkan orang yang beriman, seperti orang yang memakai celana putih, yang ia khawatir apabila celananya sedikit kotor, maka noda itu akan terlihat jelas.”
Aku mengangguk-angguk. “Ooh… iya kek. Gak nyangka kakek filosofis banget.” Ujarku sambil ‘nyengir’.
“Apa kamu tidak mengambil pelajaran terhadap diri kamu sendiri?”
“Maksudnya, kek?”
“Bukankah tadi pagi kamu menggampangkan tidak sholat subuh? Muhasabah lah!! Apa mungkin hati kamu sudah terlanjur kotor sehingga setiap kotoran baru yang menempel bukan menjadi sesuatu yang mencolok?”
“Astaghfirullah…” Aku terhenyak.
“Kalau hati kamu bersih, tentu saja kamu tidak ingin ada setitik noda pun hinggap di hati kamu.”
“Astaghfirullah. Iya kek. Saya sadar, saya salah. Kalau begitu, mulai sekarang saya akan berusaha membersihkan hati saya. Akan saya jaga agar hati saya senantiasa bersih, tidak boleh ada kotoran yang hinggap. Saya akan selalu bersihkan dengan istighfar.”
“Bagus!!” Kakek mengangguk-angguk….
Saat alam menunjukkan tanda bahwa saat maghrib hendak tiba, kami pulang ke rumah. Di jalan, saya termenung. Lalu berkata kepada kakek, “Kakek, saya jadi paham kenapa kalau ada orang baik yang ketahuan aibnya, selalu menjadi bulan-bulanan gosip dibanding orang jahat yang ketahuan aibnya.”
Kakek mengangguk-angguk.
“Ya ya ya…. Ya seperti tadi, karena orang yang baik yang ketahuan aibnya itu seperti sebuah pakaian putih yang terlihat terkena noda. Nodanya akan mencolok dilihat oleh orang banyak. Beda dengan orang jahat, orang sudah terbiasa dengan berita aibnya. Tak terlalu menjadi bulan-bulanan omongan orang.”
“Benar kek. Tapi, susah ya menjaga hati ini bersih. Menjaga perilaku ini tetap bersih. Karena kotoran ada di mana-mana. Kalau terkena noda, akan mencolok. Dan harus dibersihkan dengan tenaga yang ekstra. Belum lagi omongan orang-orang… Hhh…”
“Hahaha….” Kakek tertawa kecil.
—-
Ibnu Mas’ud r.a. berkata "Orang yang benar-benar beriman, ketika melihat dosa-dosanya, seperti ia sedang duduk dibawah gunung. Ia kuatir kalau-kalau puncak gunung itu jatuh menimpanya. Adapun orang munafik, ia memandang dosa-dosanya seperti menghalau lalat di ujung hidungnya."
Semoga bisa diambil pelajaran dari kisah fiktif di atas.
Artikel Terkait
Tidak ada komentar:
Posting Komentar