Khusyu’ merupakan perkara agung, cepat sirnanya dan jarang keberadaanya ditemukan, khususnya di akhir zaman ini yang penuh dengan berbagai macam fitnah dan godaan, baik godaan dari manusia maupun godaan dari syetan yang berupaya memalingkan manusia dari kekhusyukan.
Jauhnya manusia dari kekhusyukan dalam melaksanakan shalat, hal ini adalah benar adanya, bahkan seorang sahabat besar yang bernama Huzaifah ibnu Yaman radhiyallahu ‘anhu telah menggambarkan:
“Yang pertama kali yang akan hilang dari agamamu adalah khusyuk’, dan hal yang terakhir yang akan hilang dari agamamu adalah shalat. Betapa banyak orang shalat tetapi tiada kebaikan padanya, hampir saja engkau memasuki masjid, sementara tidak ditemukan diantara mereka orang yang khusyuk.” (Madarijussalikin, Imam Ibnul Qayyim 1/521)
Bila kita tanyakan dan kita pantau shalat yang dilakukan oleh sebagian kaum muslimin, maka jawabannya adalah mereka jauh dari kekhusyukan. Fikiran mereka menerawang entah kemana, hati mereka lalai, bahkan was-was dari syetanpun muncul tatkala mereka melaksanakan shalat, Oleh karena itu pembahasan seputar tentang shalat khusyuk ini merupakan pembahasan yang sangat penting sekali, dan dibutuhkan oleh kaum muslimin yang ingin meningkatkan kualitas ibadah shalatnya. Dimana hal ini akan membawa mereka kepada kebahagian dan kemenangan, sebagaimana yang telah disebutkan Allah Subhânahu wa Ta’âla di dalam al-Qurân:
“Sesungguhnya beruntunglah orang-orang yang beriman, yaitu orang yang khusyu’ dalam shalatnya.”
(QS. al-Mu’minuun: 1-2)
Makna Khusyu’
Imam Ibnu Katsir rahimahullah dalam tafsirnya mengatakan bahwa Khusyu’ adalah: “Ketenangan, tuma’ninah, pelan-pelan, ketetapan hati, tawadhu’, serta merasa takut dan selalu merasa diawasi oleh Allah ‘Azza wa Jalla.”
Imam Ibnul Qayyim rahimahullah mengatakan bahwa Khusyu’ adalah:
“Menghadapnya hati di hadapan Robb ‘Azza wa Jalla dengan sikap tunduk dan rendah diri.”
(Madarijusslikin 1/520 )
Definisi lain dari khusyu’ dalam shalat adalah:
“Hadirnya hati di hadapan Allah Subhânahu wa Ta’âla, sambil mengkonsertasikan hati agar dekat kepada Allah Subhânahu wa Ta’âla, dengan demikian akan membuat hati tenang, tenangnya gerakan-gerakannya, beradab di hadapan Robbnya, konsentrasi terhadap apa yang dia katakan dan yang dilakukan dalam shalat dari awal sampai akhir, jauh dari was-was syaithan dan pemikiran yang jelek, dan ia merupakan ruh shalat. Shalat yang tidak ada kekhusyukan adalah shalat yang tidak ada ruhnya.”
(Tafsir Taisir Karimirrahman, oleh Syaikh Abdurrahman Nashir as-Sa’di)
Letak Khusyu’
Tempat khusyu’ adalah di hati, sedangkan buahnya akan tampak pada anggota badan. Anggota badan hanya akan mengikuti hati, jika kekhusyukan rusak akibat kelalaian dan kelengahan, serta was-was, maka rusaklah ‘ubudiyah anggota badan yang lain. Sebab hati adalah ibarat raja, sedangkan anggota badan yang lainnya sebagai pasukan dan bala tentaranya. Kepadanya-lah mereka ta’at dan darinya-lah sumber segala perintah, jika sang raja dipecat dengan bentuk hilangnya penghambaan hati, maka hilanglah rakyat yaitu anggota-anggota badan.
Dengan demikian, menampakkan kekhusyukkan dengan anggota badan, atau melalui gerakan-gerakan, supaya orang menyangka bahwa si fulan khusyu’, maka hal itu adalah sikap yang tercela, sebab diantara tanda-tanda keikhlasan adalah menyembunyikan kekhusyukan.
Suatu ketika Huzaifah bin Yaman radhiyallahu ‘anhu berkata:
“Jauhilah oleh kalian kekhusyukan munafik," lalu ditanyakan kepadanya: Apa yang dimaksud kekhusyukan munafik? Ia menjawab: “Engkau melihat jasadnya khusyu’ sementara hatinya tidak”.
Imam Ibnul Qayyim rahimahullah membagi khusyu’ kepada dua macam, yaitu khusyu’ nifaq dan khusyuk iman.
Khusyu’ nifaq
adalah: “Khusyu’ yang tampak pada permukaan anggota badan saja dalam sifatnya, yang dipaksakan dan dibuat-buat, sementara hatinya tidak khusyuk.”
Khusyuk iman
adalah: “Khusyuknya hati kepada Allah Subhânahu wa Ta’âla dengan sikap mengagungkan, memuliakan, sikap tenang, takut dan malu. Hatinya terbuka untuk Allah Subhânahu wa Ta’âla, dengan keterbukaan yang diliputi kehinaan karena khawatir, malu bercampur cinta menyaksikan nikmat-nikmat Allah ‘Azza wa Jalla dan kejahatan dirinya sendiri. Dengan demikian secara otomatis hati menjadi khusyu’ yang kemudian diikuti khusyu’nya anggota badan.”
Syaikh Muhammad bin Sholeh al-Munajjid rahimahullah dalam kitab beliau “33 Kiat Mencapai Khusyu’ dalam Shalat” menjelaskan; bahwa untuk mencapai khusyu’ dalam shalat ada dua hal pokok yang perlu diperhatikan:
Memperhatikan hal-hal yang mendatangkan kekhusyukan dalam shalat.
Menolak hal-hal yang menghilangkan kekhusyukan dan melemahkannya.
I. Memperhatikan hal-hal yang mendatangkan kekhusyukan dalam shalat
Untuk mencapai hal-hal yang akan mendatangkan kekhusyukan ada beberapa kiat yang dijelaskan dalam hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, diantaranya:
a. Mempersiapkan diri sepenuhnya untuk shalat
Adapun bentuk-bentuk persiapannya yaitu: ikut menjawab azan yang dikumandangkan oleh muazin, kemudian diikuti dengan membaca do’a yang disyariatkan, bersiwak karena hal ini akan membersihkan mulut dan menyegarkannya, kemudian memakai pakaian yang baik dan bersih, sebagaimana firman Allah Ta’âla:
“Hai anak adam, pakailah pakaianmu yang indah di setiap memasuki masjid, makanlah dan minumlah. Jangan berlebihan, sesungguhnya Allah tidak menyukai orang yang berlebihan.”
(QS. al-A’raaf: 31)
Diantara bentuk persiapan lain adalah berjalan ke masjid dengan penuh ketenangan dan tidak tergesa-gesa, lalu setelah sampai di depan masjid, maka masuk dengan membaca do’a dan keluar darinya juga membaca do’a, melaksanakan shalat sunnat Tahiyyatul masjid ketika telah berada di dalam masjid, merapatkan dan meluruskan shaf, karena syetan berupaya untuk mencari celah untuk ditempatinya dalam barisan shaf shalat.
Dengan melakukan bentuk persiapan tersebut maka Insya Allah akan membantu dalam kekhusyukan.
b. Tuma’ninah
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam selalu tuma’ninah dalam shalatnya, sehingga seluruh anggota badannya menempati posisi semula, bahkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan orang yang buruk shalatnya supaya melakukan tuma’ninah sebagaimana sabda beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam:
“Tidak sempurna shalat salah seorang diantara kalian, kecuali dengannya (tuma’ninah).”
Bahkan di dalam hadits yang lain Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menyamakan orang yang tidak tuima’ninah tersebut dengan orang yang mencuri dalam shalatnya, sebagaimana yang diriwayatkan oleh Qatadah radhiyallahu ‘anhu, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
“Seburuk-buruk pencurian yang dilakukan manusia adalah orang yang mencuri shalatnya.” Qatadah berkata: “Ya Rasulullah, bagaimana seseorang tersebut di katakan mencuri shalatnya? Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Ia tidak menyempurnakan ruku’ dan sujudnya.”
(HR. Ahmad dan al-Hakim 1/229)
Orang yang tidak tuma’ninah dalam shalatnya, tentu tidak akan merasakan kekhusyukan, sebab menunaikan shalat dengan cepat akan menghilangkan kekhusyukan, sedangkan shalat seperti mematuk burung, maka hal itu akan menghilangkan pahala.
Oleh karena itulah karena pentingnya tuma’ninah, maka wajib bagi seorang muslim untuk tuma’ninah dalam shalatnya sehingga shalatnya diterima oleh Allah Ta’âla.
C. Mengingat mati ketika shalat
Hal ini berdasarkan wasiat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam:
“Apabila engkau shalat maka shalatlah seperti orang yang hendak berpisah (mati)”.
(HR. Ahmad V/412, Shahihul Jami’, no. 742)
Jelaslah bahwasanya hal ini akan mendorong setiap orang untuk bersungguh-sungguh dalam shalatnya, karena orang yang akan berpisah tentu akan merasa kehilangan dan tidak akan berjumpa kembali, sehingga akan muncul upaya dari dalam dirinya untuk bersungguh-sungguh, dan hal ini seolah-olah baginya merupakan kesempatan terakhir untuk shalat.
D. Menghayati makna bacaan shalat
Al-Qurân diturunkan agar direnungkan dan dihayati maknanya, sebagaimana firman-Nya ‘Azza wa Jalla:
“Ini adalah sebuah kitab yang kami turunkan kepadamu penuh berkah, supaya mereka memperhatikan ayat-ayatnya dan supaya mendapat pelajaran orang-orang yang mempunyai fikiran”.
(QS. Shaad: 29)
Sikap penghayatan tidak akan terwujud kecuali dengan memahami makna setiap yang kita baca. Dengan memahami maknanya, maka seseorang akan dapat menghayati dan berfikir tentangnya, sehingga mengucurlah air matanya, karena pengaruh makna yang mendalam sampai ke lubuk hatinya. Dalam hal ini Allah Subhânahu wa Ta’âla berfirman:
“Dan orang-orang yang apabila diberi peringatan dengan ayat-ayat Robb mereka, mereka tidaklah menghadapinya sebagai orang yang tuli dan buta”.
(QS. al-Furqan: 73)
Di dalam ayat yang mulia ini Allah Subhânahu wa Ta’âla menjelaskan betapa pentingnya memperhatikan makna dari ayat yang dibaca. al-Imam Ibnu Jarir rahimahullah berkata:
“Sesungguhnya saya sangat heran kepada orang yang membaca al-Qurân, sementara dia tidak mengetahui maknanya. Bagaimana mungkin dia akan mendapatkan kelezatan ketika dia membacanya?
(Muqaddimah Tafsir at-Thobari karya Muhammad Syakir)
E. Membaca surat sambil berhenti pada tiap ayat
Hal ini merupakan kebiasaan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, sebagaimana yang dikisahkan oleh Ummu Salamah radhiyallahu ‘anha tentang bagaimana Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam membaca al-fatihah, yaitu
"Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam membaca Basmalah, kemudian berhenti, kemudian membaca ayat berikutnya lalu berhenti. Demikian seterusnya sampai selesai"
(HR. Abu Daud, no. 4001)
F. Membaca al-Qurân dengan tartil
Hal ini berdasarkan firman Allah Subhânahu wa Ta’âla:
“Dan bacalah al-Qurân dengan perlahan-lahan”.
(QS. al-Muzammil: 4)
Dan diriwayatkan dengan shahih bahwa bacaan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah perlahan-lahan serta satu huruf-satu huruf (Musnad Ahmad 6/294 dengan sanad shahih, Shifatus sholah: 105)
Membaca dengan perlahan dan tartil lebih bisa membantu untuk merenungi ayat-ayat yang dibaca dan mendatangkan kekhusyu’an. Adapun membaca dengan ketergesa-gesaan akan menjauhkan hati dari kekhusyukan.
G. Meyakini bahwa Allah Subhânahu wa Ta’âla akan mengabulkan permintaannya ketika seorang hamba sedang melaksanakan shalat
Dalam hal ini Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda dalam hadits Qudsi:
“Allah Subhânahu wa Ta’âla berfirman: ‘Aku membagi Shalatku dengan hamba-Ku-menjadi dua bagian, dan bagi hambaku setiap apa yang dia minta. Jika hamba-Ku mengucapkan Alhamdu lillahi Robbil’âlamin, Allah Subhânahu wa Ta’âla berfirman: ‘hamba-Ku telah menyanjung-Ku. Jika ia mengucapkan Mâ likiyaumiddin, Allah Subhânahu wa Ta’âla berfirman: ‘Hamba-Ku telah memuliakan dan mengagungkan-Ku”.
(Shahih Muslim, Kitabus Shalat, Bab Wajibnya Membaca al-Fatihah dalam Setiap Rakaat)
Hadits yang mulia ini menjelaskan kepada kita bahwa seseorang yang sedang melaksanakan shalat, yaitu ketika ia membaca al-Fatihah maka bacaan tersebut mendapat balasan langsung dari Allah ‘Azza wa Jalla, maka ini akan menjadi pendorong kita dalam mencapai kekhusyukan.
H. Meletakkan sutrah.(tabir pembatas) dan mendekatkan diri kepadanya
Hal ini lebih bertujuan untuk memperpendek dan menjaga penglihatan orang yang sedang melaksankan Shalat, sekaligus menjaga dirinya dari syetan. Disamping itu juga dapat menjauhkan diri dari lalu lalangnya orang yang lewat di sekitar kita, karena lewatnya orang lain secara hilir mudik dapat mengganggu kekhusyukan shalat.
Dalam hal ini Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
“Jika salah seorang diantara kalian melaksanakan Shalat dengan menggunakan tabir, maka hendaklah ia mendekat padanya, sehingga syetan tidak akan memotong Shalatnya”.
(HR. Abu Daud, no. 446/1695)
Adapun jarak antara seseorang dengan tabir (sutrah) adalah tiga kali panjang lengan, dan antara tabir dengan tempat sujudnya adalah, seluas tempat lewatnya seekor kambing, sebagaimana yang banyak disebut dalam hadits-hadits shahih.
(lihat Fathul Bari 1/574-579)
I. Meletakkan tangan kanan diatas tangan kiri di dada
“Adalah Rasulullah jika sedang Shalat,beliau meletakkan tangan kanan diatas tangan kiri”.
(HR. Muslim)
Imam Ibnu Hajar rahimahullah berkata:
“Para ulama berkata: ‘Hikmah dari sikap tersebut (meletakkan tangan kanan diatas tangan kiri di dada)-pen merupakan bentuk sifat dari seseorang yang meminta-minta dengan perasaan hina, sikap tersebut lebih mampu menghindarkan sifat main-main, dan lebih dekat kepada kekhusyukan”.
(lihat Fathul Bari 2/224)
J. Melihat kearah tempat sujud
Dalam hadits yang diriwayatkan oleh ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha:
“Adalah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam jika sedang shalat, beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam menundukkan kepala serta mengarahkan pandangannya ke tanah (tempat sujud)”.
(HR. al-Hakim 1/479, dia berkata shahih menurut syarat Bukhari dan Muslim, disepakati juga oleh al-Albani dalam buku shifatus Shalatin Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam hal 89)
Dari sini jelaslah bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam Shalat melihat ke arah tempat sujud dan tidak memejamkan matanya, maka orang yang memejamkan matanya berarti amalannya bertentangan dengan sunnah.
K. Memohon perlindungan kepada Allah Subhânahu wa Ta’âla dari godaan syetan
Godaan syetan akan selalu datang kepada siapa saja yang akan menghadap Allah Subhânahu wa Ta’âla, oleh karena itu seorang hamba hendaknya tegar dalam beribadah kepada Allah Ta’âla, seraya tetap melakukan amalan-amalan zikir ataupun shalat,dan jangan sampai goyah, sebab dengan selalu menekuni hal-hal tersebut,godaan dan tipu daya syetan akan hilang dengan sendirinya. Allah ‘Azza wa Jalla berfirman:
“Sesungguhnya tipu daya syetan itu adalah lemah.(QS. an-Nisa’: 76)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
“Jika seorang diantara kalian berdiri shalat, maka datanglah syetan, kemudian ia mengacaukannya (mengacaukan shalatnya dan memasukkan padanya keraguan) sehingga tidak mengetahui berapa rakaat ia shalat. Jika salah seorang diantara kalian mendapati hal demikian, maka hendaklah ia bersujud dua kali ketika dia sedang duduk”.
(HR. Bukhari)
Itulah diantara hal-hal yang membantu kekhusyukan, yang tidak bisa kami sebutkan semuanya karena keterbatasan tempat, namun setidak-tidaknya ini sebagai suatu jalan bagi kita untuk menuju khusyu’.
II. mengetahui penghalang-penghalang kekhusyukan dan menolaknya.
Adapun penghalang-penghalang kekhusyukan adalah sebagai berikut:
A. Menghilangkan sesuatu yang mengganggu di tempat shalat
Diriwayatkan dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, dia berkata:
“Adalah ‘Aisyah memiliki selembar kain yang berwarna-warni yang digunakan untuk menutupi bagian samping rumahnya. Melihat itu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata kepadanya: “Hilangkan itu dari pandanganku, sebab gambar-gambarnya selalu terbayang dan menggoda pandanganku pada waktu shalat”.
(HR. Bukhari/lihat Fathul Bari 10/391).
Dan termasuk perkara yang harus dihindari adalah Shalat di tempat lalu lalang manusia, tempat yang ramai dan gaduh serta berisik, di dekat orang yang sedang bercakap-cakap.
B. Tidak shalat di tempat yang terlalu dingin atau terlalu panas, jika hal tersebut memungkinkan
Hal ini jelas akan mengganggu kekhusyukan dalam shalat.
C. Menghindari shalat di dekat makanan yang disukai
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
“Tidak baik Shalat dilaksanakan di hadapan (di dekat) makanan yang telah dihidangkan”.
(HR. Muslim, no. 560).
Jika makanan yang telah dihidangkan dan berada dihadapannya, maka ia berhak mendahulukan makan, sebab jika ia tidak makan dan meninggalkannya (tidak makan terlebih dahulu), ia tidak akan merasa khusyu’ dan hatinya akan selalu teringat pada makanan tersebut, bahkan seyogyanya dia tidak tergesa-gesa dalam makannya sehingga betul-betul terpenuhi hajatnya.
D.Menghindari shalat dalam kondisi mengantuk
Diriwayatkan dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
“Jika salah seorang dari kalian merasa mengantuk dalam shalat, hendaklah ia tidur terlebih dahulu, sehingga ia mengetahui apa yang diucapkannya”.
(HR. Bukhari, no. 210)
E. Jangan shalat di belakang orang-orang yang bercakap-cakap ataupun tidur
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
“Janganlah Shalat di belakang orang yang sedang tidur dan juga orang-orang yang sedang bercakap-cakap”.
(HR. Abu Daud, no. 694)
Karena suara orang-orang yang sedang bercakap-cakap dapat merusak konsentrasi seseorang yang sedang Shalat.
F. Menghindari shalat dalam keadaan menahan buang air besar ataupun kecil
Karena hal ini jelas akan mengganggu kekhusyukan. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang seseorang shalat dalam kondisi Haaqin yaitu menahan buang air kecil dan besar.
(HR. Ibnu Majah dalam Sunannya no. 617)
G. Tidak menyibukkan diri untuk membersihkan debu
H. Dimakruhkan mengusap dahi dan hidung dalam shalat
I. Tidak boleh mengganggu orang yang sedang shalat dengan mengeraskan bacaan
J. Tidak boleh menoleh ke kiri dan ke kanan ketika shalat
K. Tidak mengarahkan pandangan ke langit
L. Jangan meludah ke depan ketika sedang shalat
M. Berusaha untuk tidak menguap ketika shalat
N. Tidak mencontoh gerakan atau tingkah laku binatang
Driwayatkan dalam hadits bahwasanya:
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang tiga perkara dalam Shalat, yaitu perilaku mematuk seperti burung gagak, duduk seperti duduknya binatang buas, mengambil tempat tertentu sebagaimana unta mengambil tempat duduknya (menderum)”.
(HR. Ahmad 3/428)
Demikianlah beberapa kiat-kiat dalam meraih Shalat Khusyu, semoga dengan mengetahuinya akan mengantarkan kita menuju Shalat yang khusyu’, yang pada intinya sangat praktis, mudah dan ekonomis tanpa membutuhkan biaya yang besar.
Wallahu a’lam
Artikel Terkait
Tidak ada komentar:
Posting Komentar