Selasa, 19 November 2013

GOLONGAN MANUSIA DALAM BERIBADAH KEPADA ALLAH S.W.T


بِسْــــــــــــــــمِ اﷲِالرَّحْمَنِ اارَّحِيم




Di antara hal yang kita harapkan dari amal ibadah yang telah kita lakukan adalah amalan-amalan tersebut diterima di sisi Allah ta’ala. Namun ternyata tidak semua orang yang berharap amalannya diterima di sisi Allah, amalannya tersebut benar-benar diterima oleh Allah azza wa jalla. Begitu banyak manusia yang amalannya tidak bernilai apa-apa di hadapan Allah ta’ala.


manusia dalam beribadah kepada Allah terbagi menjadi empat golongan. Dari keempat golongan tersebut, tidak ada yang selamat atau menjadi firqoh naajiyah kecuali satu golongan saja. Untuk lebih jelasnya, berikut kami paparkan keempat golongan tersebut:

Golongan Pertama: “Golongan orang yang enggan beribadah kepada Allah, mereka adalah golongan yang sombong (mustakbir).”

Bagi yang enggan beribadah kepada Allah, mereka termasuk orang yang sombong, angkuh, dan congkak, dan Allah telah menjelaskannya di dalam al-Qur`an. Yaitu firman-Nya:

“Sesungguhnya orang-orang yang sombong dari beribadah kepada-Ku, mereka akan masuk neraka Jahannam dalam keadaan hina dina.”  (QS. Ghafir: 60)

Sekiranya seseorang sombong di hadapan sesama manusia, maka dia tidak akan mencium wanginya surga, lantas bagaimana bisa dia sombong dengan Tuhan Semesta Alam. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

“Tidak akan masuk surga orang yang di dalam hatinya ada seberat dzarrah dari kesombongan.“ (HR. al-Bukhari dan Muslim)

Orang seperti ini, dia masuk ke dalam golongan orang-orang yang enggan masuk surga, sebagaimana hal tersebut dijelaskan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam sabdanya:

“Setiap umatku akan masuk surga kecuali orang yang enggan. Para sahabat bertanya: ya Rasulullah, siapa orang yang enggan. Beliau menjawab: Siapa yang taat kepadaku dia masuk surga, siapa yang durhaka kepadaku dia-lah orang yang enggan masuk surga.” (HR. al-Bukhari)

Golongan kedua: “Golongan orang yang beribadah kepada Allah, namun juga beribadah kepada selain Allah, mereka adalah para pelaku kesyirikan (musyrik).”

Sungguh celaka, orang yang beribadah kepada Allah subhanahu wa ta’ala, namun ia juga beribadah kepada selain Allah. Sungguh tercela orang yang beribadah kepada Allah, namun ia menghiasi ibadahnya ia dengan kesyirikan kepada selain-Nya.

Bagaimana seseorang begitu ingkar terhadap Allah dengan kesyirikan, padahal yang menciptakan dirinya adalah Allah ta’ala semata. Suatu hari Ibnu Mas’ud bertanya kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam:

“Dosa apa yang paling besar?” Beliau menjawab: Engkau menjadikan tandingan bagi Allah, padahal Dia telah menciptakanmu.” (HR. al-Bukhari)

Itulah dosa paling besar, engkau menjadikan sekutu bagi Allah, padahal Dia-lah yang telah menciptakanmu. Begitu banyak ancaman dari Allah ta’ala bagi para pelaku kesyirikan, yang kesemuanya berujung kepada siksa di neraka dan diharamkan atasnya surga. Allah berfirman:

“Sesunguhnya barang siapa yang berbuat kesyirikan kepada Allah, maka sungguh Allah akan mengharamkan atasnya surga, dan tempat tinggalnya adalah di neraka.” (QS. al-Ma’idah: 72)

Golongan ketiga: “Yaitu golongan orang yang beribadah kepada Allah semata, namun dengan tata cara yang tidak sesuai dengan syariat Rasulullah, maka dialah pelaku hal baru dalam agama (mubtadi’).”

Golongan yang ketiga ini, meskipun mereka mengalamatkan ibadahnya kepada Allah semata, ikhlaslillahi ta’ala dalam beribadah kepada-Nya, namun mereka tidak bijak lantaran beribadah tidak sesuai dengan Syariat yang dibawa oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Padahal beliau telah bersabda:

“Barang siapa yang mengamalkan suatu amalan tidak sesuai dengan perintah kami maka amalan tersebut tertolak.” (HR. al-Bukhari dan Muslim)

Alangkah bahayanya orang yang beramal tidak sesuai dengan Syariat Rasulullah, amalannya akan sia-sia dan tidak akan diterima di sisi Allah Yang Maha Kuasa. Lebih dari itu, orang yang melakukan amalan yang tidak pernah dicontohkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam  akan terhalangi dari bertaubat kepada Allah. Sebab dia meyakini bahwa amalannya adalah benar, perbuatannya adalah Sunah, jika demikian maka bagaimana mungkin ia akan bertaubat kepada Allah? Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

“Sesungguhnya Allah menutup taubat bagi setiap pelaku amalan yang tidak dicontohkan oleh beliau.”(Hadis shahih. ash-Shahihah no. 1620)

golongan ketiga golongan ini jauh dari tuntunan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan mereka adalah golongan menyimpang dari jalan yang lurus.

Golongan terakhir inilah yang selamat dalam beribadah kepada Allah ta’ala dan amalannya berbuah pahala di sisi-Nya. Dikatakan selamat, sebab mereka mendasari ibadah mereka dengan dua hal penting begitu penting, yaitu: Ikhlas karena Allah, dan: Mutaba’ah atau mengikuti petunjuk Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Kedua hal inilah yang dijelaskan Allah ta’ala di akhir surat al-Kahfi. Firman-Nya:

“Barang siapa yang berharap berjumpa dengan Rabb-nya, hendaklah ia beramal saleh dan tidak berbuat kesyirikan terhadap Rabb-nya.” (QS. al-Kahfi: 110)

Ibnu Katsir rahimahullah berkata ketika menafsirkan ayat di atas: “Hendaklah beramal saleh” yaitu yang sesuai dengan Syariat Allah, “dan tidak berbuat kesyirikan terhadap Rabb-nya,” yaitu amalan yang diinginkan wajah Allah semata, tiada sekutu bagi-Nya, dan inilah dua rukun diterimanya amalan; harus murni untuk Allah, dan benar sesuai dengan Syariat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.” (Tafsir Ibn Katsir)

Setelah kita mengetahui bahwa golongan manusia yang selamat dan sesuai dengan jalan yang lurus adalah yang senantiasa ikhlas dalam beribadah kepada Allah dan selalu meniti jalan Rasulullahshallallahu ‘alaihi wa sallam, maka perlu kita ketahui, bahwa yang menjadi tugas agung kita semua adalah berusaha mengilmui, mempelajari, dan membuka kembali lembaran-lembaran ilmu yang telah ditulis oleh para ulama. Sebab, muslim yang baik adalah yang mendasari ucapan dan perbuatannya dengan ilmu, sehingga tidaklah ia berkata atau berbuat melainkan dengan dasar ilmu yang bersumber dari al-Qur`an dan as-Sunnah, yakni hadis-hadis Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Wallahu a'lam..
Artikel Terkait

Tidak ada komentar:

Posting Komentar