Wasiat Dan Nasihat Syaikh Al-Imam Al-Muhaddits Muhammad Nashiruddin Al-Albani رحمه الله Kepada Para Pendakwah, Para Muda Mudi Islam Dan Para Penuntut Ilmu Serta Kepada Seluruh Muslimin Dan Muslimah.
Nasihat Bagi Pemuda Islam dan Penuntut Ilmu
Pertama-tama aku menasihatimu dan diriku agar bertakwa kepada Allah s.w.t kemudian apa saja yang menjadi bagian/cabang dari ketakwaan kepada Allah Tabaaraka wa Ta’ala seperti:
1. Hendaklah kamu menuntut ilmu semata-mata hanya karena ikhlas kepada Allah dengan tidak menginginkan dibalik itu balasan dan ucapan terima kasih. Tidak pula menginginkan agar menjadi pemimpin di majelis-majelis ilmu. Tujuan menuntut ilmu hanyalah untuk mencapai derajat yang Allah s.w.t telah khususkan bagi para ulama. Dalam Firman-Nya :
“… Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di-antara kamu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat.. “
(QS. Al-Mujaadilah : 11)
2. Menjauhi perkara-perkara yang dapat menggelincirkanmu, yang sebagian “Thalibul Ilmi” (para penuntut ilmu) telah terperosok dan terjatuh padanya. Diantara perkara-perkara itu :
Mereka amat cepat terkuasai oleh sifat ujub (kagum pada diri sendiri) dan terperdaya, sehingga ingin menaiki kepala mereka sendiri.
Mengeluarkan fatwa untuk dirinya dan untuk orang lain sesuai dengan apa yang tampak menurut pandangannya, tanpa meminta bantuan (dari pendapat-pendapat) para ulama Salaf pendahulu ummat ini, yang telah meninggalkan “harta warisan” berupa ilmu yang menerangi dan menyinari dunia keilmuanIslam. (Dengan warisan) itu jika dijadikan sebagai alat bantu dalam upaya penyelesaian berbagai musibah/bencana yang bertumpuk sepanjang perjalanan zaman. Sebagaimana kita telah ikut menjalani/merasakannya, dimana sepanjang zaman itu dalam kondisi yang sangat gelap gulita.
Meminta bantuan dalam berpendapat dengan berpedoman pada perkataan dan pendapat Salaf, akan sangat membantu kita untuk menghilangkan berbagai kegelapan dan mengembalikan kita kepada sumber Islam yang murni, yaitu al-Qur’an dan as-Sunnah yang shahihah.
Sesuatu yang tidak tertutup bagi kalian bahwasanya aku hidup di suatu zaman yang mana kualami padanya dua perkara yang kontradiksi dan bertolak belakang, yaitu pada zaman dimana kaum muslimin, baik para syaikh maupun para penuntut ilmu, kaum awam ataupun yang memiliki ilmu, hidup dalam jurang taqlid, bukan saja pada madzhab, bahkan lebih dari itu bertaqlid pada nenek moyang mereka.
Sedangkan kami dalam upaya menghentikan sikap tersebut, mengajak manusia kepada al-Qur’an dan as-Sunnah. Demikian juga yang terjadi di berbagai negeri Islam. Ada beberapa orang tertentu yang mengupayakan seperti apa yang kami upayakan, sehingga kamipun hidup bagaikan “Ghurabaa ” (orang-orang asing) yang telah digambarkan oleh Rasulullah s.a.w dalam beberapa hadits beliau yang telah dimaklumi, seperti:
“Sesungguhnya awal mula Islam itu sebagai suatu yang asing/ aneh, dan akan kembali asing sebagaimana permulaannya, maka berbahagialah bagi orang-orang yang asing”
Dalam sebagian riwayat, Rasulullah s.a.w bersabda :
“Mereka (al-Ghurabaa’) adalah orang-orang shaleh yang jumlahnya sedikit disekeliling orang banyak, yang mendurhakai mereka lebih banyak dari yang mentaati mereka.”
(HR. Ahmad).
Dalam riwayat lain beliau bersabda :
“Mereka orang-orang yang memperbaiki apa yang telah di rusak oleh manusia dari Sunnah-sunnahku sepeninggalku”
Aku katakan :
“Kami telah alami zaman itu, lalu kami mulai membangun sebuah pengaruh yang baik bagi dakwah yang di lakukan oleh mereka para ghurabaa’, dengan tujuan mengadakan perbaikan ditengah barisan para pemuda mukmin. Sehingga kami jumpai bahwa para pemuda beristiqamah dalam kesungguhan di berbagai negeri muslim, giat dalam berpegang teguh pada al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah s.a.w tatkala mengetahui keshahihannya.”
Akan tetapi kegembiraan kami terhadap kebangkitan yang kami rasakan pada tahun-tahun terakhir tidak berlangsung lama. Kita telah dikejutkan dengan terjadinya sikap “berbalik”, dan perubahan yang dahsyat pada diri pemuda-pemuda itu, di sebagian negeri. Sikap tersebut, hampir saja memusnahkan pengaruh dan buah yang baik sebagai hasil kebangkitan ini, apa penyebabnya?. Di sinilah letak sebuah pelajaran penting, penyebabnya adalah karena mereka tertimpa oleh perasaan ujub (membanggakan diri) dan terperdaya oleh kejelasan bahwa mereka berada di atas ilmu yang shalih. Perasaan tersebut bukan saja diseputar para pemuda muslim yang terlantar, bahkan terhadap para ulama. Perasaan itu muncul tatkala merasa bahwa mereka memiliki keunggulan dengan lahirnya kebangkitan ini, atas para ulama, ahli ilmu dan para syaikh yang bertebaran diberbagai belahan dunia Islam.
Sebagaimana merekapun tidak mensyukuri nikmat Allah s.w.t yang telah memberikan Taufik dan Petunjuk kepada mereka untuk mengenal ilmu yang benar beserta adab-adabnya. Mereka tertipu oleh diri mereka sendiri dan mengira bahwa sesungguhnya mereka telah berada pada status kedudukan dan posisi tertentu.
Merekapun mulai mengeluarkan fatwa-fatwa yang tidak matang alias mentah, tidak berdiri diatas sebuah pemahaman yang bersumber dari al-Qur’an dan as-Sunnah. Maka tampaklah fatwa-fatwa itu dari pendapat-pendapat yang tidak matang, lalu mereka mengira bahwasanya itulah ilmu yang terambil dari al-Qur’an dan as-Sunnah, maka mereka pun tersesat dengan pendapat-pendapat itu, dan juga menyesatkan banyak orang.
Suatu hal yang tidak sama bagi kalian, akibat dari itu semuanya muncullah sekelompok orang (“suatu jama’ah”) dibeberapa negeri Islam yang secara lantang mengkafirkan setiap jama’ah-jama’ah muslimin dengan filsafat-filsafat yang tidak dapat di ungkapkan secara mendalam pada kesempatan yang secepat ini, apalagi tujuan kami pada kesempatan ini hanya untuk menasehati dan mengingatkan para penuntut ilmu dan para du’at (da’i).
Oleh sebab itu saya menasehati saudara-saudara kami ahli sunnah dan ahli hadits yang berada di setiap negeri muslim, agar bersabar dalam menuntut ilmu, dan hendaklah tidak terperdaya oleh apa yang telah mereka capai berupa ilmu yang di milikinya. Pada hakekatnya mereka hanyalah mengikuti jalan, dan tidak hanya bersandar pada pemahaman-pemahaman murni mereka atau apa yang mereka sebut dengan “ijtihad mereka”.
Saya banyak mendengar pula dari saudara-saudara kami, mereka mengucapkan kalimat itu, dengan sangat mudah dan gampang tanpa memikirkan akibatnya : “Saya berijtihad”. Atau “saya berpendapat begini” atau “saya tidak berpendapat begitu”, dan ketika anda bertanya kepada mereka; kamu berijtihad berdasarkan pada apa, sehingga pendapatmu begini dan begitu? Apakah kamu bersandar pada pemahaman al-Qur’an dan sunnah Rasulullah s.a.w. serta ijma’ (kesepakatan) para ulama dari kalangan Sahabat Rasulullah s.a.w. dan yang lainnya? Ataukah pendapatmu ini hanya hawa nafsu dan pemahaman yang pendek dalam menganalisa dan beristidlal (pengambilan dalil)?. Inilah realitanya, berpendapat berdasarkan hawa nafsu, pemahaman yang kerdil dalam menganalisa dan beristidlal. Ini semuanya dalam keyakinanku disebabkan karena perasaan ujub, kagum pada diri sendiri dan terperdaya.
Oleh sebab itu saya jumpai di dunia Islam sebuah fenomena (gejala) yang sangat aneh, tampak pada sebagian karya-karya tulis.
Fenomena tersebut tampak di mana seorang yang tadinya sebagai musuh hadits, menjadi seorang penulis dalam ilmu hadits supaya dikatakan bahwa dia memiliki karya dalam ilmu hadits. Padahal jika anda kembali melihat tulisannya dalam ilmu yang mulia ini, anda akan jumpai sekedar kumpulan nukilan-nukilan dari sini dan dari sana, lalu jadilah sebuah karya tersebut. Nah, apakah faktor pendorongnya (dalam melakukan hal ini) wahai anak muda? Faktor pendorongnya adalah karena ingin tampak dan muncul di permukaan. Maka benarlah orang yang berkata :
“Perasaan cinta/senang untuk tampil akan mematahkan punggung (akan berakibat buruk)”.
Sekali lagi saya menasehati saudara-saudaraku para penuntut ilmu, agar menjauhi segala perangai yang tidak Islami, seperti perasaan terperdaya oleh apa yang telah diberikan kepada mereka berupa ilmu, dan janganlah terkalahkan oleh perasaan ujub terhadap diri sendiri.
Sebagai penutup nasehat ini hendaklah mereka menasehati manusia dengan cara yang terbaik, menghindar dari penggunaan cara-cara kaku dan keras di dalam berdakwah, karena kami berkeyakinan bahwasanya Allah s.w.t. ketika berfirman :
“Serulah manusia kejalan Rabbmu dengan hikmah dan peringatan yang haik, dan debatlah mereka dengan cara yang terbaik.. “.
(QS. An-Nahl: 125)
Bahwa sesungguhnya Allah s.w.t tidaklah mengatakannya kecuali kebenaran (alhaq) itu, terasa berat oleh jiwa manusia, oleh sebab itu ia cenderung menyombongkan diri untuk menerimanya, kecuali mereka yang di kehendaki oleh Allah. Maka dari itu, jika di padukan antara beratnya kebenaran pada jiwa manusia plus cara dakwah yang keras lagi kaku, ini berarti menjadikan manusia semakin jauh dari panggilan dakwah, sedangkan kalian telah mengetahui sabda Rasulullah s.a.w.
“Bahwasanya di antara kalian ada orang-orang yang menjauhkan (manusia dari agama); beliau mengucapkan tiga kali”.
Wasiat Al-Albani Untuk Segenap Kaum Muslimin
Sebagai ulama besar yang memiliki rasa tanggung jawab terhadap ummat ini, Imam al-Albani telah meyampaikan wasiat berupa nasihat dan bimbingan yang diperuntukkan kepada kaum Muslimin di seluruh dunia. Nasehat ini disampaikan pada bulan-bulan terakhir kehidupannya di dunia yang fana ini.
Isi wasiat, sebagai berikut:
Sesungguhnya segala puji hanya milik Allah s.w.t kami memuji-Nya, memohon ampunan dan pertolongan-Nya. Kami berlindung kepada-Nya dari kejahatan diri-diri kami dan kejelekan amal perbuatan kami. Siapa yang ditunjuki Allah s.w.t niscaya tiada yang menyesatkannya. Dan siapa yang disesatkanNya tiada pula yang menunjukinya. Aku bersaksi bahwasanya tiada sesembahan yang berhak disembah kecuali Allah satu-satunya, tiada sekutu bagi-Nya, dan aku bersaksi bahwasanya Muhammad s.a.w. adalah hamba dan Rasul-Nya.
Wasiatku kepada setiap muslim di belahan bumi manapun berada, lebih khusus kepada saudara-saudara kami yang ikut berpartisipasi bersama kami dalam penisbatan kepada dakwah yang penuh barakah ini, yaitu dakwah kepada al-Qur’an dan as-Sunnah sesuai dengan manhaj Salafush Shalih.
Aku wasiatkan kepada mereka dan terutama diriku agar bertakwa kepada Allah Tabaaraka wa Ta’ala. Kemudian agar membekali diri dengan ilmu yang bermanfaat sebagaimana firman Allah:
“Dan bertakwalah kepada Allah, Allah akan mengajarimu. ”
(QS. Al-Baqarah: 282).
Hendaknya mereka ketahui bahwa ilmu yang baik atau benar menurut pandangan kami tidak keluar dari al-Qur’an dan as-Sunnah yang sesuai dengan manhaj dan pemahaman Salafush Shalih.
Hendaknya mereka padukan antara ilmu yang dimiliki dan pengamalannya sedapat mungkin. Dengan demikian ilmu tidak menjadi hujjah yang justru mencelakakan mereka, yang mana pada hari itu harta benda dan anak keturunan tidak bermanfaat kecuali orang yang datang kepada Allah dengan hati yang selamat.
Aku ingatkan, agar waspada dari segala bentuk kerjasama dan persekutuan dengan orang-orang yang dalam banyak hal telah keluar dan menyimpang dari jalur Salafi. Penyimpangan-penyimpangan itu sangat banyak. Bilamana dipadukan akan identik dengan sikap khuruj (keluar) yang berarti memberontak terhadap kaum Muslimin dan jama’ah mereka.
Kami hanya perintahkan agar mereka mewujudkan sebuah komunitas seperti yang disabdakan oleh Rasulullah s.a.w. dalam sebuah hadist yang shahih:
“Dan jadilah kalian sebagai hamba-hamba Allah yang bersaudara.”
Hendaklah kita bergaul dangan cara yang baik dan ramah dalam berdakwah mengajak orang-orang yang menyelisihi dakwah kita. Agar sesuai dengan manhaj dan pemahaman Salafush Shalih. Dan selamanya kita harus berpegang teguh pada firman Allah s.w.t.:
“Serulah (manusia) kepada jalan Rabbmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang lebih baik.”
(QS. An-Nahl: 125).
Orang yang paling berhak diperlakukan dengan cara hikmah adalah orang yang paling keras menentang kita dalam prinsip dan aqidah kita. Hal ini kita lakukan agar tidak tertumpu pada kita dua beban yang berat, beratnya dakwah haq yang telah dianugerahkan Allah s.w.t. kepada kita kemudian dibebani lagi dengan jeleknya cara dakwah kita kepada Allah.
Aku berharap dari semua saudara-saudaraku yang berada di setiap negeri Islam, agar melaksanakan adab-adab yang Islami ini, semata-mata karena mengharap wajah Allah s.w.t. dan tidak mengharap balasan dan tidak pula ucapan terima kasih dari manusia. Semoga apa yang saya sampaikan ini telah mencukupi. Walhamdu-lillaahi Rabbil ‘aalamin.”
(Sumber: Biografi Syaikh Al-Albani Mujaddid dan Ahli Hadits Abad Ini, Oleh: Mubarrak B.M. Bamuallim Lc.)
Artikel Terkait
Tidak ada komentar:
Posting Komentar