Perkenalannya dengan Islam bermula dari obrolan yang sering dilakukan dengan pacar sang adik tatkala berkunjung ke rumah orang tuanya di Belanda. Dari awalnya sekadar membicarakan masalah-masalah umum, obrolan tersebut berkembang menjadi sebuah diskusi panjang tentang agama yang dianut oleh pacar sang adik.
”Kebetulan adik saya pacaran dengan orang Turki. Turki itu kan mayoritas Islam. Dari dia, saya banyak mengetahui tentang Islam,”
ujar Erik Meijer mengenang peristiwa 20 tahun lalu dalam hidupnya.
Ketertarikannya akan agama yang diturunkan melalui Nabi Muhammad SAW ini semakin besar, saat Erik pindah ke Indonesia. Sebagai sebuah negara berpenduduk mayoritas Muslim, ia melihat ajaran Islam di Indonesia lebih hidup dibandingkan di negaranya, negeri kincir angin, Belanda.
Meskipun saat awal tinggal di Indonesia masih memeluk agama katolik, Erik sudah tidak aktif datang ke gereja. ”Karena dalam keseharian, saya melihat ajaran Islam benar-benar menghidupi masyarakat di sini. Dari situ, kemudian saya mulai merasa ada sesuatu yang hilang,” tuturnya.
Terlebih lagi, bagi dia sebagai seorang pribadi yang menilai segala sesuatunya dengan logika, menurut Erik, semua ajaran dalam agama Islam masuk akal. Contohnya, kewajiban untuk berpuasa. Ia melihat ada filosofi di belakang kewajiban berpuasa, baik dari sisi spiritual maupun fisik.
Allah lalu mempertemukan Erik dengan Maudy Koesnaedi yang di kemudian hari menjadi istrinya. Selama menjalin pertemanan dengan mantan none Jakarta tahun 1993 yang juga berprofesi sebagai artis ini, ia banyak dikenalkan kepada ustadz dan cendekiawan Muslim di Tanah Air.
Walaupun Maudy berasal dari keluarga pemeluk Islam, menurut Erik, istrinya itu tidak pernah memaksa dia untuk berpindah keyakinan. Di matanya, Maudy adalah sosok perempuan yang tidak suka menggurui dan sok tahu.
Sang istri hanya memberikan jalan dan peluang untuknya mempelajari Islam lebih jauh. ”Kalau kamu memang tertarik dengan Islam, kamu harus mempelajarinya,” kata ayah satu orang putra ini mengutip perkataan sang istri kala itu.
Setelah mempelajari Islam selama lima tahun lamanya, Erik merasa mantap dan yakin untuk memilih agama Islam sebagai jalan hidupnya. Dengan difasilitasi oleh Ustadz Othman Umar Shihab, ia mengucapkan dua kalimat syahadat pada Februari 2001 silam. ”Saya berikrar masuk Islam disaksikan Cak Nur (alm) ketika itu,” ungkapnya.
Erik cukup beruntung. Keputusannya untuk memeluk agama Islam tidak mendapat tentangan dari kedua orang tuanya. Dalam hal memilih keyakinan, diakuinya, kedua orang tuanya lebih moderat. ”Bagi mereka, semua agama pada dasarnya sama, mengajarkan kebaikan.” Bahkan, dari sang adik, ia mendapatkan dukungan penuh. Adik perempuan satu-satunya ini memang sudah lebih dahulu menyatakan masuk Islam dibandingkan dirinya.
Hambatan justru datang dari teman-teman pergaulannya. Mengetahui Erik masuk Islam, seorang teman membujuknya untuk meninggalkan agama Islam dan kembali pada agama Katolik. ”Mungkin mereka kecewa dengan keputusan saya ini. Tapi, saya anggap itu hal yang wajar,” tukasnya.
Begitu masuk Islam, kendala yang ia temui pertama kali terkait dengan perbedaan bahasa. Kitab suci umat Muslim yang menggunakan bahasa Arab, membuatnya kesulitan untuk bisa cepat mengingat dan menghapal bacaan dalam shalat. Untuk bisa hapal surat al-Fatihah, kata Erik, ia butuh waktu tiga hingga empat bulan.
Kesulitan untuk bisa menghapal dengan cepat surat-surat lain dalam Alquran masih ia rasakan sampai saat ini. ”Terlebih lagi, di usia saya yang sudah kepala tiga. Mungkin akan berbeda kalau saya menghapalnya saat usia masih dini, seperti anak saya,” ujarnya.
Demikian juga, dengan kewajiban shalat. Butuh waktu agak lama bagi Erik untuk mengingat urutan gerakan dalam shalat. Terkadang saat sedang melakukan shalat, seringkali ia lupa gerakan berikutnya. Beruntung sang istri dengan sabar mau membimbingnya dalam menjalankan ibadah.
Begitu pun, dengan beberapa orang kenalan dekatnya yang siap membantu. ”Seperti, Pak Arief Rachman yang bersedia menuliskan potongan-potongan surat al-Fatihah dalam kartu ukuran kecil sehingga ke mana pun bisa saya kantongi dan bisa saya hapal setiap ada kesempatan,” terangnya.
Namun, tidak sepenuhnya ia menemui kesulitan. Waktu lima tahun yang ia gunakan untuk mengenal Islam lebih jauh, dirasakannya berguna saat menjalankan semua perintah Allah SWT, manakala dirinya sudah masuk Islam secara resmi. Contohnya, dalam menjalankan ibadah puasa, ia tidak menemui hambatan sama sekali. Pasalnya, jauh sebelum masuk Islam, ia sudah mulai belajar untuk berpuasa. Meskipun, diakui Erik, yang dijalankannya saat itu belum benar-benar puasa dalam arti sesungguhnya.
”Jam tujuh pagi saya tetap sarapan. Jadi, hanya sekadar tidak makan di siang hari demi menghormati teman-teman yang sedang berpuasa. Waktu itu, rasanya memang berat sekali meskipun sudah curi start tiga hingga empat jam di awal. Namun, begitu menjalankan puasa secara resmi, pakai niat, sahur, dan shalat, ternyata jauh lebih mudah dan lancar. Mungkin di situ bedanya kalau kita sekadar ikut-ikutan,” paparnya.
Meskipun sudah memeluk Islam selama delapan tahun, diakui Erik, hingga saat ini ia masih jauh dari sempurna. Dia merasa belum benar-benar berusaha untuk mendalami lebih jauh mengenai ajaran Islam. Waktunya yang lebih banyak tersita untuk urusan pekerjaan, membuat intensitasnya untuk mendalami surat-surat dalam Alquran berkurang.
”Dalam mempelajari Alquran, saya selalu berpegang pada falsafah tidak hanya sekadar menghapal dan membacanya, tetapi juga harus mengetahui arti dan maknanya,” tuturnya.
Kendati demikian, ia berusaha untuk terus meramaikan syiar Islam di lingkungan tempatnya bekerja. Salah satunya, dengan menyelenggarakan kegiatan majelis taklim dan pengajian bagi para karyawan. Sementara untuk lingkup yang lebih luas, melalui perusahaan tempatnya bekerja, Erik menyelenggarakan lomba cipta kreasi lagu Islam.
Artikel Terkait
Tidak ada komentar:
Posting Komentar