Islam adalah agama yang ditegakkan di atas nasehat. Oleh sebab itu dalam kesempatan ini akan menyajikan secara bertahap nasehat-nasehat para ulama untuk diri kita dan umat manusia pada umumnya. Mudah-mudahan nasehat-nasehat mereka bisa memperbaiki kondisi hati kita dan semakin mendekatkan diri kita kepada Rabb alam semesta.
[1] Pokok Agama
Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata:
Ikhlas adalah kakikat Islam. Karena islam itu adalah kepasrahan kepada Allah, bukan kepada selain-Nya. Maka barangsiapa yang tidak pasrah kepada Allah sesungguhnya dia telah bersikap sombong. Dan barangsiapa yang pasrah kepada Allah dan kepada selain-Nya maka dia telah berbuat syirik. Dan kedua-duanya, yaitu sombong dan syirik bertentangan dengan islam.
Oleh sebab itulah pokok ajaran islam adalah syahadat laa ilaha illallah; dan ia mengandung ibadah kepada Allah semata dan meninggalkan ibadah kepada selain-Nya. Itulah keislaman yang bersifat umum yang tidaklah menerima dari kaum yang pertama maupun kaum yang terakhir suatu agama selain agama itu. Sebagaimana firman Allah ta’ala (yang artinya),
(QS. Ali ‘Imran).
Ini semua menegaskan kepada kita bahwasanya yang menjadi pokok agama sebenarnya adalah perkara-perkara batin yang berupa ilmu dan amalan hati, dan bahwasanya amal-amal lahiriyah tidak akan bermanfaat tanpanya.
(lihat Mawa’izh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, hal. 30)
[2] Beramal Untuk Akhirat
Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata:
Sufyan bin ‘Uyainah rahimahullah berkata,
“Kebiasaan para ulama terdahulu adalah menulis nasehat satu sama lain dengan kata-kata semacam ini:
(lihat Mawa’izh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, hal. 33-34)
[3] Sumber Kebahagiaan
Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata:
Pertama: setiap bayi yang dilahirkan maka ia terlahir di atas fitrah (tauhid). Jiwa manusia apabila dibiarkan begitu saja maka ia akan mengakui bahwasanya Allah adalah sesembahannya. Dia akan mencintai-Nya dan tidak mempersekutukan-Nya dengan sesuatu apapun. Akan tetapi hal itu menjadi rusak akibat tipuan yang dilakukan oleh setan-setan dari kalangan jin dan manusia kepadanya melalui kebatilan yang mereka bisikkan satu sama lain.
Kedua: bahwasanya Allah telah memberikan petunjuk kepada umat manusia dengan hidayah yang bersifat umum dengan apa yang Allah tanamkan dalam diri mereka berupa fitrah dan sebab-sebab untuk memahami ilmu. Selain itu, Allah juga menganugerahkan kepada mereka petunjuk dengan diturunkannya kitab-kitab dan diutusnya para rasul.
(lihat Mawa’izh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, hal. 35)
[4] Tiga Pokok Kebahagiaan
Ibnul Qoyyim rahimahullah berkata,
1. Tauhid, lawannya syirik.
2. Sunnah, lawannya bid’ah. Dan
3. ketaatan, lawannya adalah maksiat…”
(Al-Fawa’id, hal. 104)
[5] Kenikmatan Terbesar di Dunia
Malik bin Dinar rahimahullah berkata:
“Penduduk dunia telah keluar dari dunia, sementara mereka belum sempat merasakan sesuatu yang paling nikmat di dalamnya.”
Orang-orang bertanya,
“Apakah hal itu wahai Abu Yahya?”.
Beliau menjawab,
“Ma’rifatullah ‘azza wa jalla.”
(dikutip dari Sittu Durar min Ushul Ahli al-Atsar [28] karya Syaikh Abdul Malik Ramadhani)
[6] Keberuntungan Paling Besar
Ibnul Qayyim rahimahullah berkata,
Bagaimana mungkin dianggap berakal, seseorang yang menjual surga demi mendapatkan sesuatu yang mengandung kesenangan sesaat? Orang yang benar-benar mengerti hakekat hidup ini akan keluar dari alam dunia dalam keadaan belum bisa menuntaskan dua urusan; menangisi dirinya sendiri -akibat menuruti hawa nafsu tanpa kendali- dan menunaikan kewajiban untuk memuji Rabbnya. Apabila kamu merasa takut kepada makhluk maka kamu akan merasa gelisah karena keberadaannya dan menghindar darinya. Adapun Rabb (Allah) ta’ala, apabila kamu takut kepada-Nya niscaya kamu akan merasa tentram karena dekat dengan-Nya dan berusaha untuk terus mendekatkan diri kepada-Nya.”
(al-Fawa’id, hal. 34)
[7] Dua Macam Ilmu
al-Hasan al-Bashri rahimahullah berkata,
(lihat al-Iman, takhrij al-Albani, hal. 22)
[8] Siapakah Ulama?
Suatu ketika, ada seseorang yang berkata kepada asy-Sya’bi,
“Wahai sang alim/ahli ilmu.”
Maka beliau menjawab,
(adh-Dhau’ al-Munir ‘ala at-Tafsir [5/98])
[9] Guru Yang Sejati
Yusuf bin al-Husain menceritakan: Aku bertanya kepada Dzun Nun tatkala perpisahanku dengannya,
“Kepada siapakah aku duduk/berteman dan belajar?."
Beliau menjawab,
“Hendaknya kamu duduk bersama orang yang dengan melihatnya akan mengingatkan dirimu kepada Allah. Kamu memiliki rasa segan kepadanya di dalam hatimu. Orang yang pembicaraannya bisa menambah ilmumu. Orang yang tingkah lakunya membuatmu semakin zuhud kepada dunia. Bahkan, kamu pun tidak mau bermaksiat kepada Allah selama kamu sedang berada di sisinya. Dia memberikan nasehat kepadamu dengan perbuatannya, dan tidak menasehatimu dengan ucapannya semata.”
(al-Muntakhab min Kitab az-Zuhd wa ar-Raqaa’iq, hal. 71-72)
[10] Ciri Ilmu Yang Bermanfaat
Syaikh as-Sa’di rahimahullah berkata,
(al-Qawa’id al-Fiqhiyah, hal. 12)
[11] Ilmu Yang Sebenarnya
Imam al-Auza’i rahimahullah berkata,
“Ilmu yang sebenarnya adalah apa yang datang dari para sahabat Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Maka ilmu apapun yang tidak berada di atas jalan itu maka pada hakikatnya itu bukanlah ilmu.”
(Da’a’im Minhaj an-Nubuwwah, hal. 390-391)
[12] Tidak Ada Bid’ah Yang Baik (Hasanah)!
Imam Malik rahimahullah berkata,
“Barangsiapa yang mengada-adakan di dalam Islam suatu ajaran bid’ah dan dia memandangnya sebagai kebaikan, maka sesungguhnya dia telah menuduh Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam telah mengkhianati risalah. Karena Allah ta’ala berfirman,
Maka apa-apa yang pada hari itu bukan termasuk agama, pada hari ini ia juga bukan termasuk agama.”
(al-Luma’ fi ar-Radd ‘ala Muhassini al-Bida’, karya Syaikh Abdul Qayyum as-Suhaibani, hal. 8-9)
[13] Berpegang Teguh Dengan Sunnah
Imam ad-Darimi meriwayatkan dalam Sunannya, demikian juga al-Ajurri dalam asy-Syari’ah, dari az-Zuhri rahimahullah, beliau berkata,
“Para ulama kami dahulu senantiasa mengatakan,
“Berpegang teguh dengan Sunnah adalah keselamatan”
Muhammad bin Nashr meriwayatkan dari Abud Darda’ radhiyallahu’anhu, beliau berkata,
“Kamu tidak akan salah jalan selama kamu tetap setia mengikuti atsar.”
(Da’a’im Minhaj an-Nubuwwah, hal. 340).
[14] Amalan Yang Diterima
Fudhail bin Iyadh rahimahullah berkata,
“Sesungguhnya amalan jika ikhlas namun tidak benar maka tidak akan diterima. Demikian pula apabila amalan itu benar tapi tidak ikhlas juga tidak diterima sampai ia ikhlas dan benar. Ikhlas itu jika diperuntukkan bagi Allah, sedangkan benar jika berada di atas Sunnah/tuntunan.”
(lihat Jami’ al-’Ulum wa al-Hikam, hal. 19 cet. Dar al-Hadits).
[15] Hakikat Takwa
Thalq bin Habib rahimahullah mengatakan,
(lihat Tafsir al-Qur’an al-’Azhim [6/222],Jami’ al-’Ulum wa al-Hikam, hal. 211)
Umar bin Abdul Aziz rahimahullah berkata,
(Jami’ al-’Ulum wa al-Hikam, hal. 211)
[16] Kiat Memperbaiki Hati dan Amalan
Diriwayatkan dari Mutharrif bin Abdullah rahimahullah bahwa dia mengatakan,
”Baiknya hati adalah dengan baiknya amalan. Sedangkan baiknya amalan adalah dengan baiknya niat.”
(Jami’ul ‘Ulum, hal. 17).
Dari Ibnul Mubarak rahimahullah, dia mengatakan,
(Jami’ul ‘Ulum, hal. 17).
Seorang ulama yang mulia dan sangat wara’ (berhati-hati) Sufyan Ats Tsauri rahimahullah berkata,
”Tidaklah aku menyembuhkan sesuatu yang lebih sulit daripada niatku.”
(Tadzkiratus Sami’ wal Mutakallim dinukil dari Ma’alim fii Thariq Thalabil ‘Ilmi, hal. 19).
[17] Sifat Tawadhu’
Ibnul Qayyim rahimahullah mengatakan,
“Salah satu tanda kebahagiaan dan kesuksesan adalah tatkala seorang hamba semakin bertambah ilmunya maka semakin bertambah pula sikap tawadhu’ dan kasih sayangnya. Dan semakin bertambah amalnya maka semakin meningkat pula rasa takut dan waspadanya. Setiap kali bertambah usianya maka semakin berkuranglah ketamakan nafsunya. Setiap kali bertambah hartanya maka bertambahlah kedermawanan dan kemauannya untuk membantu sesama. Dan setiap kali bertambah tinggi kedudukan dan posisinya maka semakin dekat pula dia dengan manusia dan berusaha untuk menunaikan berbagai kebutuhan mereka serta rendah hati kepada mereka.”
(Al Fawa’id, hal. 149).
[18] Anak-Anak Akherat
Ali bin Abi Thalib radhiyallahu’anhu berkata,
(HR. Bukhari secara mu’allaq dalam Kitab ar-Riqaq, lihat Shahih Bukhari cet. Maktabah al-Iman hal. 1307).
Wallahu a'lam, semoga bermanfaat..
[1] Pokok Agama
Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata:
Ikhlas adalah kakikat Islam. Karena islam itu adalah kepasrahan kepada Allah, bukan kepada selain-Nya. Maka barangsiapa yang tidak pasrah kepada Allah sesungguhnya dia telah bersikap sombong. Dan barangsiapa yang pasrah kepada Allah dan kepada selain-Nya maka dia telah berbuat syirik. Dan kedua-duanya, yaitu sombong dan syirik bertentangan dengan islam.
Oleh sebab itulah pokok ajaran islam adalah syahadat laa ilaha illallah; dan ia mengandung ibadah kepada Allah semata dan meninggalkan ibadah kepada selain-Nya. Itulah keislaman yang bersifat umum yang tidaklah menerima dari kaum yang pertama maupun kaum yang terakhir suatu agama selain agama itu. Sebagaimana firman Allah ta’ala (yang artinya),
- “Barangsiapa yang mencari selain Islam sebagai agama maka tidak akan diterima darinya, dan di akhirat dia pasti akan termasuk golongan orang-orang yang merugi.”
(QS. Ali ‘Imran).
Ini semua menegaskan kepada kita bahwasanya yang menjadi pokok agama sebenarnya adalah perkara-perkara batin yang berupa ilmu dan amalan hati, dan bahwasanya amal-amal lahiriyah tidak akan bermanfaat tanpanya.
(lihat Mawa’izh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, hal. 30)
[2] Beramal Untuk Akhirat
Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata:
Sufyan bin ‘Uyainah rahimahullah berkata,
“Kebiasaan para ulama terdahulu adalah menulis nasehat satu sama lain dengan kata-kata semacam ini:
- Barangsiapa yang memperbaiki hatinya, maka Allah akan memperbaiki kondisi lahiriyahnya. Barangsiapa yang memperbaiki hubungannya dengan Allah, maka Allah akan memperbaiki hubungannya dengan sesama manusia. Barangsiapa yang beramal untuk akhiratnya, maka Allah akan mencukupkan baginya urusan dunianya.”
(lihat Mawa’izh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, hal. 33-34)
[3] Sumber Kebahagiaan
Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata:
- Allah subhanahu wa ta’ala telah menganugerahkan kepada anak cucu Adam dua perkara yang menjadi sumber kebahagiaan.
Pertama: setiap bayi yang dilahirkan maka ia terlahir di atas fitrah (tauhid). Jiwa manusia apabila dibiarkan begitu saja maka ia akan mengakui bahwasanya Allah adalah sesembahannya. Dia akan mencintai-Nya dan tidak mempersekutukan-Nya dengan sesuatu apapun. Akan tetapi hal itu menjadi rusak akibat tipuan yang dilakukan oleh setan-setan dari kalangan jin dan manusia kepadanya melalui kebatilan yang mereka bisikkan satu sama lain.
Kedua: bahwasanya Allah telah memberikan petunjuk kepada umat manusia dengan hidayah yang bersifat umum dengan apa yang Allah tanamkan dalam diri mereka berupa fitrah dan sebab-sebab untuk memahami ilmu. Selain itu, Allah juga menganugerahkan kepada mereka petunjuk dengan diturunkannya kitab-kitab dan diutusnya para rasul.
(lihat Mawa’izh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, hal. 35)
[4] Tiga Pokok Kebahagiaan
Ibnul Qoyyim rahimahullah berkata,
- “Ada tiga pokok yang menjadi pondasi kebahagiaan seorang hamba, dan masing-masingnya memiliki lawan. Barangsiapa yang kehilangan pokok tersebut maka dia akan terjerumus ke dalam lawannya.
1. Tauhid, lawannya syirik.
2. Sunnah, lawannya bid’ah. Dan
3. ketaatan, lawannya adalah maksiat…”
(Al-Fawa’id, hal. 104)
[5] Kenikmatan Terbesar di Dunia
Malik bin Dinar rahimahullah berkata:
“Penduduk dunia telah keluar dari dunia, sementara mereka belum sempat merasakan sesuatu yang paling nikmat di dalamnya.”
Orang-orang bertanya,
“Apakah hal itu wahai Abu Yahya?”.
Beliau menjawab,
“Ma’rifatullah ‘azza wa jalla.”
(dikutip dari Sittu Durar min Ushul Ahli al-Atsar [28] karya Syaikh Abdul Malik Ramadhani)
[6] Keberuntungan Paling Besar
Ibnul Qayyim rahimahullah berkata,
- “Keberuntungan paling besar di dunia ini adalah kamu menyibukkan dirimu di sepanjang waktu dengan perkara-perkara yang lebih utama dan lebih bermanfaat untukmu kelak di hari akherat.
Bagaimana mungkin dianggap berakal, seseorang yang menjual surga demi mendapatkan sesuatu yang mengandung kesenangan sesaat? Orang yang benar-benar mengerti hakekat hidup ini akan keluar dari alam dunia dalam keadaan belum bisa menuntaskan dua urusan; menangisi dirinya sendiri -akibat menuruti hawa nafsu tanpa kendali- dan menunaikan kewajiban untuk memuji Rabbnya. Apabila kamu merasa takut kepada makhluk maka kamu akan merasa gelisah karena keberadaannya dan menghindar darinya. Adapun Rabb (Allah) ta’ala, apabila kamu takut kepada-Nya niscaya kamu akan merasa tentram karena dekat dengan-Nya dan berusaha untuk terus mendekatkan diri kepada-Nya.”
(al-Fawa’id, hal. 34)
[7] Dua Macam Ilmu
al-Hasan al-Bashri rahimahullah berkata,
- “Ilmu itu ada dua macam. Ilmu yang tertancap di dalam hati dan ilmu yang sekedar berhenti di lisan. Ilmu yang tertancap di hati itulah ilmu yang bermanfaat, sedangkan ilmu yang hanya berhenti di lisan itu merupakan hujjah/bukti bagi Allah untuk menghukum hamba-hamba-Nya.”
(lihat al-Iman, takhrij al-Albani, hal. 22)
[8] Siapakah Ulama?
Suatu ketika, ada seseorang yang berkata kepada asy-Sya’bi,
“Wahai sang alim/ahli ilmu.”
Maka beliau menjawab,
- “Kami ini bukan ulama. Sebenarnya orang yang alim itu adalah orang yang senantiasa merasa takut kepada Allah.”
(adh-Dhau’ al-Munir ‘ala at-Tafsir [5/98])
[9] Guru Yang Sejati
Yusuf bin al-Husain menceritakan: Aku bertanya kepada Dzun Nun tatkala perpisahanku dengannya,
“Kepada siapakah aku duduk/berteman dan belajar?."
Beliau menjawab,
“Hendaknya kamu duduk bersama orang yang dengan melihatnya akan mengingatkan dirimu kepada Allah. Kamu memiliki rasa segan kepadanya di dalam hatimu. Orang yang pembicaraannya bisa menambah ilmumu. Orang yang tingkah lakunya membuatmu semakin zuhud kepada dunia. Bahkan, kamu pun tidak mau bermaksiat kepada Allah selama kamu sedang berada di sisinya. Dia memberikan nasehat kepadamu dengan perbuatannya, dan tidak menasehatimu dengan ucapannya semata.”
(al-Muntakhab min Kitab az-Zuhd wa ar-Raqaa’iq, hal. 71-72)
[10] Ciri Ilmu Yang Bermanfaat
Syaikh as-Sa’di rahimahullah berkata,
- “Batasan suatu ilmu disebut sebagai ilmu yang bermanfaat adalah ia dapat menyingkirkan dua perkara dari dalam hati, yaitu syubhat dan syahwat. Sebab syubhat akan menanamkan keragu-raguan. Sementara syahwat akan menyebabkan kotor dan kerasnya hati dan membuat badan malas untuk menjalankan ketaatan. Sehingga ciri ilmu yang bermanfaat adalah yang bisa menghilangkan dua buah penyakit besar ini.”
(al-Qawa’id al-Fiqhiyah, hal. 12)
[11] Ilmu Yang Sebenarnya
Imam al-Auza’i rahimahullah berkata,
“Ilmu yang sebenarnya adalah apa yang datang dari para sahabat Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Maka ilmu apapun yang tidak berada di atas jalan itu maka pada hakikatnya itu bukanlah ilmu.”
(Da’a’im Minhaj an-Nubuwwah, hal. 390-391)
[12] Tidak Ada Bid’ah Yang Baik (Hasanah)!
Imam Malik rahimahullah berkata,
“Barangsiapa yang mengada-adakan di dalam Islam suatu ajaran bid’ah dan dia memandangnya sebagai kebaikan, maka sesungguhnya dia telah menuduh Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam telah mengkhianati risalah. Karena Allah ta’ala berfirman,
- “Pada hari ini telah Aku sempurnakan bagi kalian agama kalian, dan telah Aku cukupkan nikmat-Ku atas kalian, dan Aku telah ridha Islam sebagai agama kalian.”
Maka apa-apa yang pada hari itu bukan termasuk agama, pada hari ini ia juga bukan termasuk agama.”
(al-Luma’ fi ar-Radd ‘ala Muhassini al-Bida’, karya Syaikh Abdul Qayyum as-Suhaibani, hal. 8-9)
[13] Berpegang Teguh Dengan Sunnah
Imam ad-Darimi meriwayatkan dalam Sunannya, demikian juga al-Ajurri dalam asy-Syari’ah, dari az-Zuhri rahimahullah, beliau berkata,
“Para ulama kami dahulu senantiasa mengatakan,
“Berpegang teguh dengan Sunnah adalah keselamatan”
Muhammad bin Nashr meriwayatkan dari Abud Darda’ radhiyallahu’anhu, beliau berkata,
“Kamu tidak akan salah jalan selama kamu tetap setia mengikuti atsar.”
(Da’a’im Minhaj an-Nubuwwah, hal. 340).
[14] Amalan Yang Diterima
Fudhail bin Iyadh rahimahullah berkata,
“Sesungguhnya amalan jika ikhlas namun tidak benar maka tidak akan diterima. Demikian pula apabila amalan itu benar tapi tidak ikhlas juga tidak diterima sampai ia ikhlas dan benar. Ikhlas itu jika diperuntukkan bagi Allah, sedangkan benar jika berada di atas Sunnah/tuntunan.”
(lihat Jami’ al-’Ulum wa al-Hikam, hal. 19 cet. Dar al-Hadits).
[15] Hakikat Takwa
Thalq bin Habib rahimahullah mengatakan,
“Takwa adalah kamu mengerjakan ketaatan kepada Allah dengan bimbingan cahaya dari Allah seraya mengharap pahala dari Allah, dan kamu meninggalkan kemaksiatan kepada Allah dengan bimbingan cahaya dari Allah seraya merasa takut terhadap siksaan dari Allah.”
(lihat Tafsir al-Qur’an al-’Azhim [6/222],Jami’ al-’Ulum wa al-Hikam, hal. 211)
Umar bin Abdul Aziz rahimahullah berkata,
- “Ketakwaan kepada Allah bukan sekedar dengan berpuasa di siang hari, sholat malam, dan menggabungkan antara keduanya. Akan tetapi hakikat ketakwaan kepada Allah adalah meninggalkan segala yang diharamkan Allah dan melaksanakan segala yang diwajibkan Allah. Barang siapa yang setelah menunaikan hal itu dikaruni amal kebaikan maka itu adalah kebaikan di atas kebaikan.”
(Jami’ al-’Ulum wa al-Hikam, hal. 211)
[16] Kiat Memperbaiki Hati dan Amalan
Diriwayatkan dari Mutharrif bin Abdullah rahimahullah bahwa dia mengatakan,
”Baiknya hati adalah dengan baiknya amalan. Sedangkan baiknya amalan adalah dengan baiknya niat.”
(Jami’ul ‘Ulum, hal. 17).
Dari Ibnul Mubarak rahimahullah, dia mengatakan,
- ”Betapa banyak amal yang kecil menjadi besar gara-gara niat. Dan betapa banyak amal yang besar menjadi kecil gara-gara niat.”
(Jami’ul ‘Ulum, hal. 17).
Seorang ulama yang mulia dan sangat wara’ (berhati-hati) Sufyan Ats Tsauri rahimahullah berkata,
”Tidaklah aku menyembuhkan sesuatu yang lebih sulit daripada niatku.”
(Tadzkiratus Sami’ wal Mutakallim dinukil dari Ma’alim fii Thariq Thalabil ‘Ilmi, hal. 19).
[17] Sifat Tawadhu’
Ibnul Qayyim rahimahullah mengatakan,
“Salah satu tanda kebahagiaan dan kesuksesan adalah tatkala seorang hamba semakin bertambah ilmunya maka semakin bertambah pula sikap tawadhu’ dan kasih sayangnya. Dan semakin bertambah amalnya maka semakin meningkat pula rasa takut dan waspadanya. Setiap kali bertambah usianya maka semakin berkuranglah ketamakan nafsunya. Setiap kali bertambah hartanya maka bertambahlah kedermawanan dan kemauannya untuk membantu sesama. Dan setiap kali bertambah tinggi kedudukan dan posisinya maka semakin dekat pula dia dengan manusia dan berusaha untuk menunaikan berbagai kebutuhan mereka serta rendah hati kepada mereka.”
(Al Fawa’id, hal. 149).
[18] Anak-Anak Akherat
Ali bin Abi Thalib radhiyallahu’anhu berkata,
- “Jadilah kalian anak-anak akherat, dan jangan menjadi anak-anak dunia. Sesungguhnya hari ini adalah amal dan belum ada hisab, sedangkan besok yang ada adalah hisab dan tidak ada lagi waktu untuk beramal.”
(HR. Bukhari secara mu’allaq dalam Kitab ar-Riqaq, lihat Shahih Bukhari cet. Maktabah al-Iman hal. 1307).
Wallahu a'lam, semoga bermanfaat..
Artikel Terkait
Tidak ada komentar:
Posting Komentar