kata-kata kita menjelma boneka lilinsaat kita mati untuk memperjuangkannyakala itulah ruh kan merambahnyadan kalimat-kalimat itupun hidup selamanya-Sayyid Quthb-
Menulis adalah mengikat jejak pemahaman. Akal kita sebagai karunia Allah ‘Azza wa Jalla, begitu agung dayanya menampung sedemikian banyak data. Tetapi kita kadang kesulitan memanggil apa yang telah tersimpan lama. Ilmu masa lalu itu berkeliaran dan bersembunyi di jalur rumit otak. Maka menulis adalah menyusun kata kunci untuk membuka khazanah akal; sekata menunjukkan sealinea, satu kalimat untuk satu bab, sebuah paragraf mewakili berrangkai kitab. Demikianlah kita fahami kalimat indah Imam Asy-Syafi’i; ilmu adalah binatang buruan, dan pena yang menuliskan adalah tali pengikatnya.
Menulis juga jalan merekam jejak pemahaman. Kita lalui usia dengan memohon ditambah ilmu dan dikaruniai pengertian; maka adakah kemajuan? Itu boleh kita tahu jika kita rekam sang ilmu dalam lembaran; kita bisa melihat perkembangannya hari demi hari, bulan demi bulan. Jika tulisan kita tiga bulan lalu telah bisa kita tertawai; maka terbaca adanya kemajuan. Jika anggitan setahun lewat masih terkagumi juga; itu menyedihkan.
Lebih lanjut; menulis adalah mengujikan pemahaman kepada khalayak; yang dari berbagai sisi bisa memberi penyaksamaan dan penilaian. Kita memang membaca buku, menyimak kajian, hadir dalam seminar dan sarasehan. Tetapi kebenaran pemahaman kita belum tentu terjaminkan. Maka menulislah; agar jutaan pembaca menjadi guru yang meluruskan kebengkokan, mengingatkan keterluputan, dan membetulkan kekeliruan.
Penulis hakikatnya menyapa dengan ilmu; maka ia berbalas tambahan pengertian; makin bening, makin luas, kian dalam, dan kian tajam. Agungnya lagi; sang penulis merentangkan ilmunya melampaui batas-batas waktu dan ruang. Ia tak dipupus masa dan usia, ia tak terhalang ruang dan jarak. Adagium Latin itu tak terlalu salah; Verba Volant, Scripta Manent. Yang terucap kan lenyap tak berjejak, yang tertulis kan adi mengabadi. Tetapi bagi kita, makna keabadian karya bukan hanya soal masyhurnya nama; ia tentang pewarisan nilai. Apakah kemaslahatan yang kita lungsurkan, atau justru kerusakan.
Andaikan benar bahwa II Principe yang dipersembahkan Niccolo Machiavelli pada Cesare de Borgia itu jadi kawan tidur para tiran seperti terisyu tentang Napoleon, Hitler, dan Stalin; akankah dia bertanggung jawab atas berbagai kezaliman yang terilham bukunya? Sebab bukan hanya pahala yang bersifat ‘jariyah’; melainkan ada juga dosa yang terus mengalir. Menjadi penulis adalah pertaruhan. Mungkin tak separah II Principe; tapi tiap kata yang mengalir dari jemari ini juga berpeluang menjadi keburukan berrantai-rantai.
Dan bahagialah bakda pengingat; huruf bisa menjelma dzarrah kebajikan; percikan ilhamnya tak putus mencahaya sampai kiamat tiba. Lalu terkejutlah para penulis kebenaran, kelak ketika catatan amal diserahkan, “Ya Rabbi, bagaimana bisa pahalaku sebanyak ini?” Moga kelak dijawab-Nya, “Ya, amalmu sedikit, dosamu berbukit; tapi inilah pahala tak putus dari ilham kebajikan yang kautebarkan.” Tulisan shahih dan mushlih; jadi jaring yang melintas segala batas; menjerat pahala orang terilham, tanpa mengurangi ganjaran si bersangkutan.
Menulis juga bagian dari tugas iman; sebab makhluk pertama ialah pena, ilmu pertama ialah bahasa, dan ayat pertama berbunyi “Baca!” Tersebut dalam hadis riwayat Imam Ahmad dan ditegaskan Ibnu Taimiyah dalam Fatawa, “Makhluk pertama yang dicipta-Nya ialah pena, lalu Dia berfirman, “Tulislah!” Tanya Pena, “Apa yang kutulis, wahai Rabbi?” Maka Allah titahkan, “Tulislah segala ketentuan yang Kutakdirkan bagi semua makhluk-Ku sejak awal zaman hingga akhir waktu.”
Demikianpun ilmu yang diajarkan pada Adam hingga membuat dia unggul atas malaikat yang diperintahkan bersujud padanya adalah bahasa; adalah kosa kata; adalah nama-nama (QS Al-Baqarah [2} ayat 31).
Dan “Baca!”; adalah wahyu pertama. Bangsa Arab dahulu mengukur kecerdasan dari kuatnya hafalan hingga memandang rendah tulis-baca. Sebab, menulis—kata mereka—hanyalah alat bantu bagi yang hafalannya di bawah rata-rata. Namun begitu ayat itu nuzul di Bukit Cahaya, hanya dalam 2 dasawarsa, para penggembala kambing dan penunggang unta itu meloncat ke ufuk, menjadi guru bagi semesta.
Muhammad, Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, hadir bukan dengan mukjizat yang membelalakkan. Dia datang dengan kata-kata yang menukik-menghunjam, disebut ‘Al Quran’, yang bermakna 'bacaan'. Maka Islam menjelma diri menjadi peradaban ilmiah, dengan pena sebagai pilarnya; hingga berbagai wawasan tertebar mengantar kemaslahatan ke segenap penjuru bumi.
Semoga Allah berkahi tiap kata yang mengalir dari ujung jemari kita. Sungguh, sesusun kalimat dapat menggugah jiwa manusia dan mengubah arah laju dunia. Maka bagaimana sebuah tulisan bisa mengilhami; tak tersia, tak jadi tragika, dan tak menjatuhkan penulisnya dalam gelimang kemalangan? Saya mencermati setidaknya ada tiga kekuatan yang harus dimiliki seorang penulis menggugah; Daya Ketuk, Daya Isi, dan Daya Memahamkan.
Daya Ketuk
Daya ketuk ini yang paling berat dibahas. Yang mericau ini pun masih jauh darinya dan tertatih belajar merengkuhnya. Ia masalah hati; terkait niat dan keikhlasan. Tapi pertama-tama, marilah kita jawab ketiga pertanyaan ini:
1) Mengapa saya harus menulis?
2) Mengapa hal ini harus ditulis?
3) Mengapa harus saya yang menuliskannya?
Seberapa kuat makna jawaban kita atas ke-3 soalan ini, menentukan seberapa besar daya tahan kita melewati berrupa-rupa tantangan menulis. Alasan kuat tentang diri, tema, dan akibat dunia-akhirat yang akan kita tanggung jika ia tak ditulis; akan menggairahkan, menguatkan, dan menekunkan. Keterlibatan hati dan jiwa dengan niat menyala itulah yang mengantarkan tulisan ke hati pembaca; mengetuk, menyentuh, menggerakkan.
Tetapi, tak cukup hanya hati bergairah dan semangat menyala saja jika yang kita kehendaki adalah keinsyafan suci di nurani pembaca. Menulis memerlukan kata yang agung dan berat itu; IKHLAS. Kemurnian. Harap dan takut yang hanya pada-Nya. Cinta terhadap kebenaran di atas segala-galanya.
Allah menggambarkan keikhlasan sejati bagaikan susu; terancam kotoran dan darah, tapi terupayakan. Ia murni, bergizi, mengandung tenaga inti. Ia mudah diasup, nyaman ditelan, lancar dicerna oleh peminum-peminumnya, menjadi daya untuk bertaat dan bertakwa (Q.s. an-Nahl [16] ayat 66).
Maka menjadi penulis yang ikhlas sungguh payah dan tak mudah, ada goda kotoran dan darah, ada rayuan kekayaan dan kemasyhuran, ada jebakan riya’ dan sum’ah.
Jika ia berhasil dilampaui; jadilah tulisan, ucapan dan perbuatan sang penulis bergizi, memberi arti, mudah dicerna jadi amal suci. Sebaliknya; penulis tak ikhlas itu; tulisannya bagai susu dicampur kotoran dan darah, racun dan limbah; lalu disajikan pada pembaca. Ya Rabbi; ampuni bengkoknya niat dalam hati, ampuni bocornya syahwat itu dan ini, di tiap kali kami gerakkan jemari menulis dan berbagi.
Sebab susu tak murni, tulisan tak ikhlas, memungkinkan 2 hal:
a) pembaca muak, mual, dan muntah bahkan saat baru mengamati awalnya. Atau lebih parah:
b) pembaca begitu rakus melahap tulisan kita; tapi yang tumbuh di tubuhnya justru penyakit-penyakit berbahaya. Menulis berkeikhlasan, menabur benih kemurnian; agar Allah tumbuhkan di hati pembaca pohon ketakwaan. Itulah daya ketuk sejati.
Daya sentuh, daya ketuk, daya sapa di hati pembaca; bukan didapat dari wudhu dan shalat yang dilakukan semata karena niat menoreh kata. Ia ada ketika kegiatan menghubungkan diri dengan Dzat Mahaperkasa, semuanya, bukan rekayasa, tapi telah menyatu dengan jiwa. Lalu menulis itu sekadar satu dari berbagai pancaran cahaya yang kemilau dari jiwanya; menggenapi semua keshalihan yang mengemuka.
Daya Isi
Setelah daya ketuk, penulis sejati harus ber-Daya Isi. Mengetuk tanpa mengisi membuat pembaca ternganga, tapi lalu bingung harus berbuat apa. Daya Ketuk memang membuat pembaca terinsyaf dan tergugah. Tapi jika isi yang kemudian dilahap ternyata cacat, timpang, dan rusak; jadilah masalah baru.
Daya Isi adalah soal ilmu. Mahfuzhat Arab itu sungguh benar; “Fakidusy syai’, laa yu’thi: yang tak punya, takkan dapat memberi”. Menjadi penulis adalah menempuh jalan ilmu dan berbagi; membaca ayat-ayat tertulis; menjala hikmah-hikmah tertebar. Semuanya sebagai mujahadah tanpa henti.
Dia menyimak apa yang difirmankan Tuhannya, mencermati apa yang memancar dari hidup Rasul-Nya; dan membawakan makna ke alam tinggalnya. Dia pahami ilmu tanpa mendikotomi; tapi tetap tahu di mana menempatkan yang mutlak terhadap yang nisbi; terus mencoba mencerahkan akal dan hati.
Penulis sejati memiliki rujukan yang kuat, tetapi bukan tukang kutip. Segala yang disajikan telah melalui proses penghayatan dan internalisasi. Penulis sejati kokoh berdalil bukan hanya atas yang tampak pada teks; tapi disertai kepahaman latar belakang dan kedalaman tafsir. Dengan internalisasi itu; semua data dan telaah yang disajikan jadi matang dan lezat dikunyah. Pembacanya mengasup ramuan bergizi dengan amat berselera hati.
Sebab konon ‘tak ada yang baru di bawah matahari’; tugas penulis mungkin memang hanya meramu hal-hal lama agar segar kembali. Atau mengungkap hal-hal yang sudah ada, tapi belum luas dikenali. Diperlukan ketekunan untuk melihat satu masalah dari banyak sisi. Atau mengingatkan kembali hal-hal yang sesungguhnya telah luas difahami; agar jiwa-jiwa yang baik tergerak kuat untuk bertindak. Maka penulis sejati lihai menghubungkan titik temu aneka ilmu dengan pemaknaan segar dan baru, dengan tetap berpegang pada kaidah shahih dan tertentu.
Dia hubungkan makna yang kaya; fikih dan tarikh; dalil dan kisah; teks dan konteks; fakta dan sastra; penelitian ilmiah dan kecenderungan insaniyah. Dia menularkan jalan ilmu untuk tak henti menggal. Tulisannya tak membuat orang mengangguk berdiam diri; tapi kian haus dan terus mencari. Dia membawakan pemaknaan penuh warna; beda bagi masing-masing pembaca; beda pula bagi pembaca yang sama di saat lainnya. Tulisannya membaru dan mengilhami selalu. Maka karyanya melahirkan karya; syarah dan penjelasan, catatan tepi dan catatan kaki, juga sisi lain pembahasan, dan bahkan bantahan.
Daya Memahamkan
Seorang penulis menggugah memulai daya memahamkan-nya dengan satu pengakuan jujur; dia bukanlah yang terpandai di antara manusia. Sang penulis sejati juga memahami; banyak di antara pembacanya yang jauh lebih berilmu dan berwawasan dibandingkan dirinya sendiri. Maka dalam hati, dia mencegah munculnya rasa lebih dibanding pembaca: “Aku tahu. Kamu tidak tahu. Maka bacalah agar kuberitahu.”
Setiap tulisan dan buku yang disusun dengan sikap jiwa penulis “Aku tahu! Kamu tak tahu!” pasti berat dan membuat penat. Kadang senioritas atau lebih tingginya jenjang pendidikan tak sengaja melahirkan sikap jiwa itu. Sang penulis merasa lebih tahu. Sungguh, sikap jiwa seorang penulis harus diubah; dari “Aku tahu! Kamu tak tahu!” menjadi suatu rasa yang lebih adil, haus ilmu, dan rendah hati.
Penulis sejati mengukirkan semboyan, “Hanya sedikit ini yang kutahu, kutulis ia untukmu, maka berbagilah denganku apa yang kautahu.” Penulis sejati sama sekali tak berniat mengajari. Dia cuma berbagi; menunjukkan kebodohannya pada pembaca agar mereka mengoreksi. Penulis sejati berhasrat untuk diluruskan kebengkokannya, ditunjukkan kekeliruannya, diluaskan pemahamannya, dilengkapi kekurangannya. Penulis sejati menjadikan dirinya seakan murid yang mengajukan hasil karangan pada gurunya. Maka beribu pembaca menjadi pengajar baginya, berjuta ilmu akan menyapanya.
Inilah yang menjadikan tulisan akrab dan lezat disantap; pertama-tama sebab penulisnya adil menilai pembaca, haus ilmu, dan rendah hati.
Pada sikap sebaliknya, kita akan menemukan tulisan yang beribu kali membuat berkerut dahi, tapi pembacanya tak kunjung memahami. Lebih parahnya; keinginan untuk tampil lebih pandai dan tampak berilmu di mata pembaca sering membuat akal macet dan jemari terhenti. Jika lolos tertulis; ianya menjadi kegenitan intelektual; inginnya dianggap cerdas dengan banyak istilah yang justru membuat mual.
Kesantunan Allah menjadi pelajaran bagi kita. Rasul-Nya menegaskan keindahan surga itu belum pernah ada mata yang melihatnya, telinga yang mendengarnya, dan angan yang membayangkannya. Tetapi dalam firman-Nya, Dia menjelaskan dengan paparan yang mudah dihayati. Dia gambarkan surga dalam paparan yang mudah dicerna akal manusia; taman hijau, sungai mengalir, naungan rindang, bebuahan dekat, duduk bertelekan di atas dipan, dipakaikan sutra halus dan tebal, pelayan hilir mudik siap sedia, bidadari cantik bermata jeli.
Inilah Allah yang Mahatahu, Dia tak bersombong dengan ilmu. Bahkan Dia kenalkan diri-Nya bukan sebagai “Ilah” di awal-awal, melainkan sebagai “Rabb” yang lebih dikenal.
Penulis sejati menghayati pesan Nabi; bicaralah pada kaum sesuai kadar pemahamannya, bicaralah dengan bahasa yang dimengerti oleh mereka. Penulis sejati memahami; dalam keterbatasan ilmu yang dimiliki, tugasnya menyederhanakan yang pelik, bukan merumitkan yang bersahaja. Itu pun tidak dalam rangka mengajari; tapi berbagi. Dia haus tuk menjala umpan balik dari pembaca; kritik, koreksi, dan tambahan data.
Penulis sejati juga tahu; yang paling berhak mengamalkan isi anggitannya adalah dirinya sendiri. Daya memahamkan hakikatnya berhulu di sini. Sebab seringkali kegagalan penulis memahamkan pembaca disebabkan dia pun tak memahami apa yang ditulisnya itu dalam amal nyata. Begitulah daya memahamkan; dimulai dengan sikap jiwa yang adil, haus ilmu, dan rendah hati terhadap pembaca kita, lalu dikuatkan dengan tekad bulat untuk menjadi orang pertama yang mengamalkan tulisan, dan berbagi pada pembaca dengan hangat, akrab, serta penuh cinta.
Kali ini, tercukup sekian bincang kita tentang menulis. Maafkan tak melangkah ke hal-hal yang bersifat teknis, sebab banyak yang lebih ahli tentangnya. Semoga kita lalu tahu; menulis bukanlah profesi tunggal dan mandiri. Ia lekat pada kesejatian hidup seorang mukmin untuk menebar cahaya pada dunia. Maka menulis hanya salah satu konsekuensi sekaligus sarana bagi si mukmin untuk menguatkan iman, amal shalih, dan saling menasehati. Jika ada amal lain yang lebih utama dan lebih kuat dampaknya dalam ketiga perkara itu; maka kita tak boleh ragu; tinggalkan menulis untuk menujunya.
Artikel Terkait
Tidak ada komentar:
Posting Komentar