Menikmati adalah kemampuan seseorang menerima apa yang ada, menghadapi sesuatu yang dirasakan kurang memuaskan tapi dijalaninya dengan ikhlas dan penerimaan penuh: tanpa mengeluh, tanpa menggerutu dan tanpa berkata-kata yang tidak perlu. Menikmati akan muncul dari kemampuan menghayati. Tanpa menghayati tak akan ada kemampuan menikmati. Menikmati adalah salah satu bentuk bersyukur. Semakin sering seseorang menghayati, semakin sering ia menikmati, semakin sering ia menikmati akan semakin sering bersyukur, semakin sering ia bersyukur akan semakin sehat jiwanya.
Kemampuan menikmati sangat besar pengaruhnya pada pembentukan kepribadian, pembentukan akhlak-moral dan kualitas kesadaran, yang kemudian akan berpengaruh pada keselamatan hidupnya. Menikmati adalah sebuah kekuatan mental-spiritual yang dapat berpengaruh pada dahsyatnya kekuatan diri.
Potensi menikmati ada pada setiap individu tapi tidak setiap orang menyadari, membentuk dan menjadikannya sebagai sikap hidupnya. Menikmati akan membuat seseorang nyaman dengan diri dan hidupnya, dan akan menjauhkannya dari keresahan dan kegagalan. Tak menikmati atau pengingkaran adalah sumber dari berbagai persoalan hidup. Bukankah orang berpindah-pindah pekerjaan yang karena alasannya bukan prinsipil karena tak menikmati apa yang sudah dijalaninya? Bukankah orang mudah terpengaruh dan banyak larak-lirik ke kanan-kiri karena tak menikmati apa yang sedang dikerjakannya? Bukankah seseorang berselingkuh karena tak bisa menikmati pasangannya dengan segala kelebihan dan kekurangannya? Bukankah orang melakukan penyelewengan karena tak puas alias tak menikmati apa yang sudah dimilikinya? Bukankah seseorang melakukan korupsi karena tidak mensyukuri dan menikmati pendapatan yang sudah diterimanya?
Orang kaya akan bersyukur bila menikmati kekayaannya dan menikmati adalah tanda keberkahan kekayaannya. Sebab, kalau tidak berkah, niscaya apa yang dimilikinya tidak akan ternikmati oleh diri dan keluarganya, malah akan menjadi siksaan dan menjatuhkan diri dan martabatnya. Tanpa menikmati, orang kaya akan terus mencari dan mencari, akan selalu merasa kurang dan menjadi orang rakus yang tak bisa menikmati apa yang sudah diraihnya.
Orang miskin tak akan mengeluh dan menerima takdirnya bila ia menghayati hidupnya apa adanya. Ia menyadari sekolahnya tidak tinggi, menyadari tidak punya keahlian, menyadari dulu saat mudanya tidak serius belajar atau hidup dalam pergaulan yang salah sehingga membuat dirinya tidak berkualitas dan membuatnya seperti ini sekarang. Saat ia menyadari seperti itu, sesungguhnya kesadarannya sedang menaik dan itu akan menjadi pintu menuju perubahan dirinya. Mengapa banyak orang miskin yang tenang hidupnya sementara banyak orang kaya tak ada ketenangan dan selalu diterjang gelisah? Kemampuan menikmati keadaan adalah kuncinya.
Seorang pejabat akan menjadi pejabat yang rendah hati dan tahu diri bila ia sanggup menikmati apa yang sedang didudukinya. Dengan menikmati, apa yang sudah diraihnya akan disyukuri karena ia menyadari itu hasil kerja keras, prestasi dirinya dan ridha Tuhan padanya. Dengan demikian, tugas dan tanggungjawabnya akan dijalaninya dengan baik dan benar. Ia tidak akan menjadi ambisius karena kemampuannya menikmati apa yang sudah ada ditangannya. Pejabat yang menikmati pekerjaannya pasti akan bekerja sebaik-baiknya dan meningkatkan kinerja dan prestasinya.
Orang biasa menjadi tak berangan-angan dan berkhayal yang tidak perlu bila ia sanggup menikmati hidupnya sebagai orang biasa. Ia menyadari kapasitas dirinya yang tak memiliki pengaruh, bakal menonjol, kekuatan dan kepemimpinan sehingga perannya sebagai orang biasa akan dihayatinya dengan sepenuh hati, akan tahu diri dan itu akan menyehatkan jiwanya karena pasti akan mensyukuri hidupnya. Kejahatan yang dilakukan orang-orang biasa karena tak menikmati dan tak menyadari kapasitasnya sebagai orang biasa. Keinginan yang selalu lebih dan lebih atau selalu ingin seperti orang lain adalah akibat dari ketaksanggupannya menikmati keadaan.
Ilmuwan akan produktif bila ia menikmati dan menyadari dirinya sebagai ilmuwan. Ia akan berkonsentrasi pada karya dan sumbangan yang harus dipersembahkannya pada masyarakat sesuai bidang, keahlian dan kapasitas ilmunya. Ilmuwan yang menghayati dan mensyukuri dirinya sebagai ilmuwan tak akan berfikir macam-macam dan berkhayal menjadi pejabat, menjual ilmunya dengan murah atau merendahkan dirinya di hadapan penguasa. Ilmuwan yang menikmati perannya akan istiqamah di jalannya, akan lurus sikapnya dan konsentrasi di bidangnya untuk berbuat dan berkarya sebaik-baiknya. Demikian pun dengan profesi-profesi lainnya seperti guru, karyawan, pedagang, seniman, olahragawan, wartawan dan lain-lain.
Makan, dengan apapun, kalau dinikmati pasti nikmat!! Makan hanya dengan ikan asin dan sambal bagi orang yang pandai bersyukur pasti nikmat. Akan keluar kalimat-kalimat syukur dari mulutnya. Sementara makanan mewah di restoran mahal bagi orang yang tidak pandai bersyukur akan dirasakan biasa saja dan tidak membawa kenikmatan. Mengapa kita sering mengasosiasikan kenikmatan makan pada makanan sederhana seperti nasi liwet, ikan asin, sambal, lalaban hijau, jengkol, petai, sayur asem kemudian bayangan tempatnya adalah saung/gubuk yang alami, di depannya ada aliran air yang jernih, di bawah pohon rindang dan di depannya ada hamparan sawah atau gunung yang membiru? Minuman yang dibayangkan pun adalah kopi kental atau teh tubruk? Rokok yang disebut pasti tak jauh dari Jarum Coklat atau Jie Sam Soe. Itu semua adalah kesanggupan kita menikmati suasana dimana bayangan kenikmatan itu dekat dengan alam. Untuk urusan kenikmatan itu, mengapa asosiasi kita tidak pada steak, bistik, beef/chicken burger, spagheti, pizza atau sajian modern yang lain? Dan mengapa minumannya pun bukan berbagai juz mahal, wine, starbucks coffee, ekspresso atau cappucino? Rokoknya pun tidak akan kita sebut Marlboro, Dunhill, Lucky Strike, Winston, Pall Mall atau cerutu Italia. Tempatnya tidak kita bayangkan McDonald atau mall di pusat kota, cafe di pertokoan elit atau hotel lantai 700. Mengapa? Karena itu semua adalah urusan kemewahan bukan kenikmatan, dan mewah tidak berhubungan dengan nikmat melainkan gengsi. Tukang cangkul dan kuli bangunan selalu nikmat makan dengan sambal, lalab dan ikan asin, orang kaya belum tentu nikmat makan di restoran internasional yang sekali makan harganya jutaan!! Artinya, menikmati adalah kekuatan dahsyat pada seseorang.
Teman saya tahu persis manfaat air hujan. Ia tidak pernah menghindari bila hujan turun alias sering sengaja hujan-hujanan, dan meminum air hujan. Ia sangat menikmati khasiat, manfaat dan keajaiban air hujan seperti disebutkan dalam Al-Qur’an sebagai air murni yang diproses dilangit oleh proses alam. Air hujan adalah air yang menyegarkan bumi, menyuburkan tanah dan menumbuhkan hijau-hijau dedaunan. Ia sering meminum air hujan yang langsung turun dari langit (tidak melalui genteng dan pohon dulu). Walhasil, ia jarang sakit, tubuhnya selalu sehat dan fikirannya cerdas. Ia berusaha menyatu dengan alam dan menikmati anugrah Tuhan. Kemampuan menikmati air hujan justru akan membuat sehat dan kuat, mencurigai air hujan, selalu takut dan menghindari kena hujan karena menuduhnya akan membuat sakit, pasti akan membuat sakit. Sedikit saja air hujan kena kepala langsung terasa pusing, flu, pilek, demam dll. Kemampuan menikmati alam akan menjadi kekuatan, “membuat permusuhan dengannya” dengan menghindari dan menjauhinya akan melemahkan dan memudahkan sakit. Itulah diantara sebab mudah sakitnya manusia modern sekarang ini. Hidupnya dibentuk oleh kemanjaan. Hidupnya jauh dari alam dan tubuhnya sudah penuh dengan obat-obatan kimiawi modern.
Saya aneh dengan adik saya sendiri. Kemana-mana naik motor tidak suka pakai jaket. Keluar kota tengah malam pun sering tidak pakai jaket. Ia menolaknya. Cukup selembar kaos oblong atau kemeja. Padahal kita tahu, jangankan angin malam, angin sore saja sangat mudah membuat orang masuk angin dan sakit. Adik saya tidak pernah sakit dari kebiasaan anehnya naik motor seperti itu. Ia tak pernah minum suplemen kesehatan. Ketika saya tanya, jawabannya membuat saya merenung. Ia tak berfikir angin akan membuatnya sakit dan kemanapun pergi justru ia menikmati angin yang menerpa tubuhnya sekencang apapun. Saya pikir, ini kekuatan jiwa yang diluar ilmu kedokteran. Kemampuan menikmati adalah kekuatan yang diabaikan orang. Teringatlah saya pada para kuli truk yang sering tak berbaju di atas truknya bahkan pada malam hari, atau para kondektor bis di terminal-terminal yang sering tak berbaju. Ini bukan soal kebiasaan tapi soal kemampuan menerima dan menikmati keadaan yang kemudian berubah menjadi kekuatan. Kebiasaannya justru terbentuk dari kemampuannya menikmati keadaan itu. Mereka seolah sudah kebal dari yang namanya masuk angin, sementara kebanyakan orang yang selalu tertib berbaju, dingin sedikit segera pakai jaket, tidurnya teratur selalu di kamar bagus di atas kasur empuk, justru masuk angin dan sakit adalah langganan mereka.
Mengapa puasa Ramadhan sebulan penuh semua orang yang menjalaninya kuat dan bisa padahal di hari-hari biasa rasa lapar sering tak sanggup ditahan hanya setengah hari saja? Karena puasa itu kita nikmati. Semua Muslim tahu itu kewajiban kemudian menikmati kewajiban itu bersama keluarga, saudara dan sahabat. Jadilah kenikmatan dan sebulan pun tak terasa. Mengapa pula ada sebagian orang yang tak kuat puasa? Karena ia tak menikmatinya. Belum apa-apa ia sudah membayangkannya sebagai siksaan, dibayangkannya akan mengganggu urusannya mencari uang, bisnis dan pekerjaan sehingga banyak yang tak berpuasa. Kemampuan menikmati adalah pangkal kita mampu tidaknya melakukan pekerjaan yang dianggap berat.
Mengapa ada perempuan yang menikmati statusnya sebagai istri kedua atau ketiga, sementara banyak perempuan yang, jangankan dimadu, mendengarnya saja sudah muak? Ini kan aneh, sama-sama perempuan, tapi ada yang menikmatinya sekaligus banyak yang muak mendengarnya dan membencinya. Jawabannya tak lain karena perbedaan kemampuannya menikmati hidup dan menyadari garis nasibnya. Memang pada dasarnya, semua perempuan tak suka dimadu. Istri-istri Nabi SAW saja pada dasarnya tak mau dimadu, tapi kemampuan menghayati agamanya membuat berbeda-beda sikap dan penerimaan. Kalau agama itu hanya mengikuti rasa memang berat, tapi justru berkorban perasaan itulah perjuangan yang berat. Bukankah kesediaan taat kepada agama dan Tuhan adalah soal rasa? Karena berat, hanya mereka yang ikhlas, menerima dan menghayatilah yang bisa melakukannya. Harus diakui, kebanyakan poligami dasarnya nafsu dan kebanyakan poligami kemudian bercerai lagi, tapi juga adalah kenyataan banyak yang awet, rukun dan harmonis hingga masa tuanya.
Ada orang tua yang memeriksakan kesehatannya ke dokter dengan general check up. Beberapa bagian tubuhnya sudah mengalami gangguan. Yang ia syukuri, lambungnya sangat sehat. Dokter dan ia sendiri tak mengerti. Ia merasa tak memperhatikan lambungnya, makannya biasa saja dan memakan apa yang ada. Selidik punya selidik dari sikap dan kebiasaan, ternyata orang tua ini diketahui selalu menikmati bila sedang makan dan ia menyadarinya. Seorang keluarganya mengatakan, memang bila si bapak itu sedang makan, yang melihatnya pun seolah merasa ikut enak karena melihat kenikmatannya mengunyah, menelan dan mulutnya yang selalu bersyukur atas apa yang ia makan. Selalu menikmati makanan dan bersyukur atas rizki yang masuk ke perutnya telah membuat lambungnya sehat di usia tua. Ini kekuatan dahsyat dari menikmati.
Banyak sekali contoh-contoh bukti dari kekuatan dahsyat dari menikmati yang berdampak besar pada keikhlasan hidup, rasa syukur, pembentukan akhlak-moral, kualitas kesadaran dan kekuatan diri. Kemampuan menikmati akan muncul dari kemampuan menghayati. Segala sesuatu bila dihayati akan mendatangkan kenikmatan. Merasakan nikmat adalah pertanda jiwa yang sehat. Rasa syukur timbul dari kemampuan menikmati dan tidak bersyukur muncul dari ketaksanggupan menikmati. Kekuatan timbul dari kemampuan menikmati dan kelemahan muncul dari ketaksanggupan menikmati.
Ingin meningkatkan kualitas hidup, kualitas kesadaran dan membentuk kekuatan diri? Mulailah belajar menghayati segala sesuatu agar bisa menikmati apapun yang kita terima dan rasakan. Menikmati adalah wujud keikhlasan dan keikhlasan adalah ruhnya ibadah: “Al-ikhlas ruhul ‘ibadah.”
Wallahu ‘alam!!
Kemampuan menikmati sangat besar pengaruhnya pada pembentukan kepribadian, pembentukan akhlak-moral dan kualitas kesadaran, yang kemudian akan berpengaruh pada keselamatan hidupnya. Menikmati adalah sebuah kekuatan mental-spiritual yang dapat berpengaruh pada dahsyatnya kekuatan diri.
Potensi menikmati ada pada setiap individu tapi tidak setiap orang menyadari, membentuk dan menjadikannya sebagai sikap hidupnya. Menikmati akan membuat seseorang nyaman dengan diri dan hidupnya, dan akan menjauhkannya dari keresahan dan kegagalan. Tak menikmati atau pengingkaran adalah sumber dari berbagai persoalan hidup. Bukankah orang berpindah-pindah pekerjaan yang karena alasannya bukan prinsipil karena tak menikmati apa yang sudah dijalaninya? Bukankah orang mudah terpengaruh dan banyak larak-lirik ke kanan-kiri karena tak menikmati apa yang sedang dikerjakannya? Bukankah seseorang berselingkuh karena tak bisa menikmati pasangannya dengan segala kelebihan dan kekurangannya? Bukankah orang melakukan penyelewengan karena tak puas alias tak menikmati apa yang sudah dimilikinya? Bukankah seseorang melakukan korupsi karena tidak mensyukuri dan menikmati pendapatan yang sudah diterimanya?
Orang kaya akan bersyukur bila menikmati kekayaannya dan menikmati adalah tanda keberkahan kekayaannya. Sebab, kalau tidak berkah, niscaya apa yang dimilikinya tidak akan ternikmati oleh diri dan keluarganya, malah akan menjadi siksaan dan menjatuhkan diri dan martabatnya. Tanpa menikmati, orang kaya akan terus mencari dan mencari, akan selalu merasa kurang dan menjadi orang rakus yang tak bisa menikmati apa yang sudah diraihnya.
Orang miskin tak akan mengeluh dan menerima takdirnya bila ia menghayati hidupnya apa adanya. Ia menyadari sekolahnya tidak tinggi, menyadari tidak punya keahlian, menyadari dulu saat mudanya tidak serius belajar atau hidup dalam pergaulan yang salah sehingga membuat dirinya tidak berkualitas dan membuatnya seperti ini sekarang. Saat ia menyadari seperti itu, sesungguhnya kesadarannya sedang menaik dan itu akan menjadi pintu menuju perubahan dirinya. Mengapa banyak orang miskin yang tenang hidupnya sementara banyak orang kaya tak ada ketenangan dan selalu diterjang gelisah? Kemampuan menikmati keadaan adalah kuncinya.
Seorang pejabat akan menjadi pejabat yang rendah hati dan tahu diri bila ia sanggup menikmati apa yang sedang didudukinya. Dengan menikmati, apa yang sudah diraihnya akan disyukuri karena ia menyadari itu hasil kerja keras, prestasi dirinya dan ridha Tuhan padanya. Dengan demikian, tugas dan tanggungjawabnya akan dijalaninya dengan baik dan benar. Ia tidak akan menjadi ambisius karena kemampuannya menikmati apa yang sudah ada ditangannya. Pejabat yang menikmati pekerjaannya pasti akan bekerja sebaik-baiknya dan meningkatkan kinerja dan prestasinya.
Orang biasa menjadi tak berangan-angan dan berkhayal yang tidak perlu bila ia sanggup menikmati hidupnya sebagai orang biasa. Ia menyadari kapasitas dirinya yang tak memiliki pengaruh, bakal menonjol, kekuatan dan kepemimpinan sehingga perannya sebagai orang biasa akan dihayatinya dengan sepenuh hati, akan tahu diri dan itu akan menyehatkan jiwanya karena pasti akan mensyukuri hidupnya. Kejahatan yang dilakukan orang-orang biasa karena tak menikmati dan tak menyadari kapasitasnya sebagai orang biasa. Keinginan yang selalu lebih dan lebih atau selalu ingin seperti orang lain adalah akibat dari ketaksanggupannya menikmati keadaan.
Ilmuwan akan produktif bila ia menikmati dan menyadari dirinya sebagai ilmuwan. Ia akan berkonsentrasi pada karya dan sumbangan yang harus dipersembahkannya pada masyarakat sesuai bidang, keahlian dan kapasitas ilmunya. Ilmuwan yang menghayati dan mensyukuri dirinya sebagai ilmuwan tak akan berfikir macam-macam dan berkhayal menjadi pejabat, menjual ilmunya dengan murah atau merendahkan dirinya di hadapan penguasa. Ilmuwan yang menikmati perannya akan istiqamah di jalannya, akan lurus sikapnya dan konsentrasi di bidangnya untuk berbuat dan berkarya sebaik-baiknya. Demikian pun dengan profesi-profesi lainnya seperti guru, karyawan, pedagang, seniman, olahragawan, wartawan dan lain-lain.
Makan, dengan apapun, kalau dinikmati pasti nikmat!! Makan hanya dengan ikan asin dan sambal bagi orang yang pandai bersyukur pasti nikmat. Akan keluar kalimat-kalimat syukur dari mulutnya. Sementara makanan mewah di restoran mahal bagi orang yang tidak pandai bersyukur akan dirasakan biasa saja dan tidak membawa kenikmatan. Mengapa kita sering mengasosiasikan kenikmatan makan pada makanan sederhana seperti nasi liwet, ikan asin, sambal, lalaban hijau, jengkol, petai, sayur asem kemudian bayangan tempatnya adalah saung/gubuk yang alami, di depannya ada aliran air yang jernih, di bawah pohon rindang dan di depannya ada hamparan sawah atau gunung yang membiru? Minuman yang dibayangkan pun adalah kopi kental atau teh tubruk? Rokok yang disebut pasti tak jauh dari Jarum Coklat atau Jie Sam Soe. Itu semua adalah kesanggupan kita menikmati suasana dimana bayangan kenikmatan itu dekat dengan alam. Untuk urusan kenikmatan itu, mengapa asosiasi kita tidak pada steak, bistik, beef/chicken burger, spagheti, pizza atau sajian modern yang lain? Dan mengapa minumannya pun bukan berbagai juz mahal, wine, starbucks coffee, ekspresso atau cappucino? Rokoknya pun tidak akan kita sebut Marlboro, Dunhill, Lucky Strike, Winston, Pall Mall atau cerutu Italia. Tempatnya tidak kita bayangkan McDonald atau mall di pusat kota, cafe di pertokoan elit atau hotel lantai 700. Mengapa? Karena itu semua adalah urusan kemewahan bukan kenikmatan, dan mewah tidak berhubungan dengan nikmat melainkan gengsi. Tukang cangkul dan kuli bangunan selalu nikmat makan dengan sambal, lalab dan ikan asin, orang kaya belum tentu nikmat makan di restoran internasional yang sekali makan harganya jutaan!! Artinya, menikmati adalah kekuatan dahsyat pada seseorang.
Teman saya tahu persis manfaat air hujan. Ia tidak pernah menghindari bila hujan turun alias sering sengaja hujan-hujanan, dan meminum air hujan. Ia sangat menikmati khasiat, manfaat dan keajaiban air hujan seperti disebutkan dalam Al-Qur’an sebagai air murni yang diproses dilangit oleh proses alam. Air hujan adalah air yang menyegarkan bumi, menyuburkan tanah dan menumbuhkan hijau-hijau dedaunan. Ia sering meminum air hujan yang langsung turun dari langit (tidak melalui genteng dan pohon dulu). Walhasil, ia jarang sakit, tubuhnya selalu sehat dan fikirannya cerdas. Ia berusaha menyatu dengan alam dan menikmati anugrah Tuhan. Kemampuan menikmati air hujan justru akan membuat sehat dan kuat, mencurigai air hujan, selalu takut dan menghindari kena hujan karena menuduhnya akan membuat sakit, pasti akan membuat sakit. Sedikit saja air hujan kena kepala langsung terasa pusing, flu, pilek, demam dll. Kemampuan menikmati alam akan menjadi kekuatan, “membuat permusuhan dengannya” dengan menghindari dan menjauhinya akan melemahkan dan memudahkan sakit. Itulah diantara sebab mudah sakitnya manusia modern sekarang ini. Hidupnya dibentuk oleh kemanjaan. Hidupnya jauh dari alam dan tubuhnya sudah penuh dengan obat-obatan kimiawi modern.
Saya aneh dengan adik saya sendiri. Kemana-mana naik motor tidak suka pakai jaket. Keluar kota tengah malam pun sering tidak pakai jaket. Ia menolaknya. Cukup selembar kaos oblong atau kemeja. Padahal kita tahu, jangankan angin malam, angin sore saja sangat mudah membuat orang masuk angin dan sakit. Adik saya tidak pernah sakit dari kebiasaan anehnya naik motor seperti itu. Ia tak pernah minum suplemen kesehatan. Ketika saya tanya, jawabannya membuat saya merenung. Ia tak berfikir angin akan membuatnya sakit dan kemanapun pergi justru ia menikmati angin yang menerpa tubuhnya sekencang apapun. Saya pikir, ini kekuatan jiwa yang diluar ilmu kedokteran. Kemampuan menikmati adalah kekuatan yang diabaikan orang. Teringatlah saya pada para kuli truk yang sering tak berbaju di atas truknya bahkan pada malam hari, atau para kondektor bis di terminal-terminal yang sering tak berbaju. Ini bukan soal kebiasaan tapi soal kemampuan menerima dan menikmati keadaan yang kemudian berubah menjadi kekuatan. Kebiasaannya justru terbentuk dari kemampuannya menikmati keadaan itu. Mereka seolah sudah kebal dari yang namanya masuk angin, sementara kebanyakan orang yang selalu tertib berbaju, dingin sedikit segera pakai jaket, tidurnya teratur selalu di kamar bagus di atas kasur empuk, justru masuk angin dan sakit adalah langganan mereka.
Mengapa puasa Ramadhan sebulan penuh semua orang yang menjalaninya kuat dan bisa padahal di hari-hari biasa rasa lapar sering tak sanggup ditahan hanya setengah hari saja? Karena puasa itu kita nikmati. Semua Muslim tahu itu kewajiban kemudian menikmati kewajiban itu bersama keluarga, saudara dan sahabat. Jadilah kenikmatan dan sebulan pun tak terasa. Mengapa pula ada sebagian orang yang tak kuat puasa? Karena ia tak menikmatinya. Belum apa-apa ia sudah membayangkannya sebagai siksaan, dibayangkannya akan mengganggu urusannya mencari uang, bisnis dan pekerjaan sehingga banyak yang tak berpuasa. Kemampuan menikmati adalah pangkal kita mampu tidaknya melakukan pekerjaan yang dianggap berat.
Mengapa ada perempuan yang menikmati statusnya sebagai istri kedua atau ketiga, sementara banyak perempuan yang, jangankan dimadu, mendengarnya saja sudah muak? Ini kan aneh, sama-sama perempuan, tapi ada yang menikmatinya sekaligus banyak yang muak mendengarnya dan membencinya. Jawabannya tak lain karena perbedaan kemampuannya menikmati hidup dan menyadari garis nasibnya. Memang pada dasarnya, semua perempuan tak suka dimadu. Istri-istri Nabi SAW saja pada dasarnya tak mau dimadu, tapi kemampuan menghayati agamanya membuat berbeda-beda sikap dan penerimaan. Kalau agama itu hanya mengikuti rasa memang berat, tapi justru berkorban perasaan itulah perjuangan yang berat. Bukankah kesediaan taat kepada agama dan Tuhan adalah soal rasa? Karena berat, hanya mereka yang ikhlas, menerima dan menghayatilah yang bisa melakukannya. Harus diakui, kebanyakan poligami dasarnya nafsu dan kebanyakan poligami kemudian bercerai lagi, tapi juga adalah kenyataan banyak yang awet, rukun dan harmonis hingga masa tuanya.
Ada orang tua yang memeriksakan kesehatannya ke dokter dengan general check up. Beberapa bagian tubuhnya sudah mengalami gangguan. Yang ia syukuri, lambungnya sangat sehat. Dokter dan ia sendiri tak mengerti. Ia merasa tak memperhatikan lambungnya, makannya biasa saja dan memakan apa yang ada. Selidik punya selidik dari sikap dan kebiasaan, ternyata orang tua ini diketahui selalu menikmati bila sedang makan dan ia menyadarinya. Seorang keluarganya mengatakan, memang bila si bapak itu sedang makan, yang melihatnya pun seolah merasa ikut enak karena melihat kenikmatannya mengunyah, menelan dan mulutnya yang selalu bersyukur atas apa yang ia makan. Selalu menikmati makanan dan bersyukur atas rizki yang masuk ke perutnya telah membuat lambungnya sehat di usia tua. Ini kekuatan dahsyat dari menikmati.
Banyak sekali contoh-contoh bukti dari kekuatan dahsyat dari menikmati yang berdampak besar pada keikhlasan hidup, rasa syukur, pembentukan akhlak-moral, kualitas kesadaran dan kekuatan diri. Kemampuan menikmati akan muncul dari kemampuan menghayati. Segala sesuatu bila dihayati akan mendatangkan kenikmatan. Merasakan nikmat adalah pertanda jiwa yang sehat. Rasa syukur timbul dari kemampuan menikmati dan tidak bersyukur muncul dari ketaksanggupan menikmati. Kekuatan timbul dari kemampuan menikmati dan kelemahan muncul dari ketaksanggupan menikmati.
Ingin meningkatkan kualitas hidup, kualitas kesadaran dan membentuk kekuatan diri? Mulailah belajar menghayati segala sesuatu agar bisa menikmati apapun yang kita terima dan rasakan. Menikmati adalah wujud keikhlasan dan keikhlasan adalah ruhnya ibadah: “Al-ikhlas ruhul ‘ibadah.”
Wallahu ‘alam!!
Artikel Terkait
Tidak ada komentar:
Posting Komentar